Kesalahan Orang-orang yang Shalat dalam Menghadap ke Sutrah
Table of Contents
Kesalahan Orang-orang yang Shalat dalam Menghadap ke Sutrah - Kali ini admin postikan artikel islam tentang kesalahan orang yang sholat dalam menghadap sutrah silahkan simak dibawah ini.
Abu
'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman
Dari Ibnu 'Umar -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata:
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((لاَ
تُصَلِّي إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ،
فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْن))
"Janganlah
kalian shalat, kecuali menghadap sutrah dan janganlah kalian membiarkan
seorangpun lewat di hadapanmu, jika dia menolak hendaklah kamu bunuh dia, karena
sesungguhnya ada syetan yang bersamanya."[1]
Dari Abu Sa'id al-Khudri -radhiyallahu 'anhuma-, dia
berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ
أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ
فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ))
"Jika
salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan
hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorangpun lewat
di antara engkau dengan sutrah. Jika ada seseorang melewatinya, hendaklah
engkau membunuhnya, karena sesungguhnya dia itu syetan."[2]
Dalam satu riwayat: "Maka sesungguhnya syetan melewati
antara dia dengan sutrah." Dari Sahl bin Abu Hitsmah -radhiyallahu
'anhu-: Dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, beliau berkata:
((إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ، فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَيَقْطَعُ الشَّيْطَانُ
عَلَيْهِ صَلاَتَهُ))
"Jika
salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekatinya,
sehingga syetan tidak memutus atas shalatnya."[3]
Dalam satu riwayat:
((إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ، وَلْيَقْتَرِبْ مِنَ السُّتْرَةِ، فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ))
"Jika
salah seorang dari kalian shalat, maka hendaklah dia memakai sutrah dan
mendekatinya, karena sesungguhnya syetan akan lewat di hadapannya."[4]
Asy-Syaukani berkata sebagai komentar atas hadits Abu Sa'id
yang lalu: "Dalam hadits tersebut mengandung dalil, bahwa membuat sutrah
dalam shalat adalah wajib."[5]
Dia (asy-Syaukani) berkata: "Kebanyakan hadits yang
mencakup perintah membuat sutrah, dan dhahir dari perintah itu
menunjukkan wajib. Jika didapati suatu dalil yang memalingkan perintah
wajib ini kepada sunnah, maka hukumnya menjadi sunnah. Tidaklah benar untuk
dijadikan sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda beliau -shallallahu
'alaihi wasallam-:
"Maka sesungguhnya sesuatu yang lewat di hadapannya
tidak membahayakannya." Karena seseorang yang shalat itu wajib menjauhi
sesuatu yang membahayakannya dalam shalat atau menjauhi sesuatu yang bisa
menghilangkan sebagian pahalanya.[6]
Di antara hal yang menguatkan wajibnya membuat sutrah:
"Sesungguhnya sutrah itu sebab yang syar'i,
yang dengannya shalat seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang
wanita yang baligh, keledai atau anjing hitam, sebagaimana yang terdapat dalam
hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat di hadapannya
serta hukum-hukum selain yang berkaitan dengan sutrah.[7]
Oleh karena itu, salafus shalih -semoga Allah meridhai
mereka- sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Sehingga
datanglah perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan, bahwa mereka sangat
gigih dalam mendorong menegakkan sutrah dan memerintahkannya serta
mengingkari orang yang shalat yang tidak menghadap kepada sutrah,
sebagaimana yang akan engkau lihat.
Dari Qurrah bin 'Iyas, dia berkata: "'Umar telah
melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi
tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata:
"Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya.""[8]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Dengan itu 'Umar
menginginkan agar dia shalat menghadap ke sutrah."[9]
Dari Ibnu 'Umar, dia berkata: "Jika salah seorang dari
kalian shalat, hendaklah dia shalat menghadap ke sutrah dan
mendekatinya, supaya syetan tidak lewat di depannya."[10]
Ibnu Mas'ud berkata: "Empat perkara dari perkara yang
sia-sia: "Seseorang shalat tidak menghadap ke sutrah... atau dia
mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan jawaban."[11]
Wahai saudaraku pembaca, perhatikanlah -semoga Allah
memberikan petunjuk kepadaku dan engkau- bagaimana perintah-perintah itu datang
dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, yang kalau mentaatinya berarti
mentaati Allah. Tidaklah beliau berbicara dari hawa (nafsu)-nya, melainkan dari
wahyu yang diturunkan. Bagaimana para sahabatnya memerintahkan dengan sesuatu
yang beliau perintahkan, sehingga 'Umar -radhiyallahu 'anhu- khalifah
yang lurus, dialah yang mendatangi sahabat yang agung ketika dalam keadaan
shalat, maka dia ('Umar) memegangi tengkuk sahabatnya itu untuk mendekatkannya
ke sutrah, sehingga shalatnya menghadap kepadanya. Dan perhatikanlah,
bagaimana Ibnu Mas'ud menyamakan antara shalatnya seseorang yang tidak
menghadap ke sutrah dengan orang yang tidak memberikan jawaban ketika
mendengar adzan."[12]
Dari Anas, dia berkata: "Sesungguhnya saya melihat
sahabat-sahabat Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bergegas-gegas
menuju ke tiang-tiang di saat shalat Maghrib, sampai Nabi -shallallahu
'alaihi wa sallam- keluar."[13]
Dalam satu riwayat: "Dalam keadaan seperti itu, mereka
shalat dua rakaat sebelum Maghrib."[14]
Anas menceritakan keadaan para sahabat dalam waktu yang
sempit itu, bagaimana mereka bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang untuk
melakukan shalat dua rakaat sebelum Maghrib.
Dari Nafi', dia berkata: "Bahwasanya Ibnu 'Umar jika
tidak mendapati jalan menuju ke salah satu tiang dari tiang-tiang masjid, dia
berkata kepadaku: "Palingkan punggungmu untukku."[15]
Dan dari dia (Nafi') juga, dia berkata: "Bahwa Ibnu
'Umar tidak shalat, kecuali menghadap ke sutrah."[16]
Salamah bin al-Akwa` menegakkan batu-batu di tanah, ketika
dia hendak shalat, dia menghadap kepadanya.[17]
Dalam atsar ini: Tidak ada bedanya antara di tanah lapang
maupun di dalam bangunan. Dhahir hadits-hadits yang lalu serta perbuatan Nabi
menguatkan yang demikian itu, sebagaimana yang telah ditetapkan asy-Syaukani
atas hal tersebut.[18]
Al-Allamah as-Safarini
berkata: "Ketahuilah, sesungguhnya orang yang shalat disunnahkan membuat sutrah
berdasarkan kesepakatan para ulama. Meskipun dia tidak khawatir adanya orang
yang melewatinya. Ini menyelisihi al-Malik. Dalam al-Waadhih: wajib dari
tembok atau sesuatu yang dapat jadi penghalang (sutrah) tersebut dan
luasnya sutrah itu mengherankan al-Imam Ahmad.[19] Pemutlakan tersebut sangat tepat, karena
penjelasan alasannya hanya bersandar dengan ra'yu (pikiran) semata,
tidak ada dalil padanya dan di dalamnya terdapat pengguguran hanya dengan ra'yu
terhadap nash-nash yang mewajibkan untuk membuat sutrah sebagiannya
telah disebutkan sebelumnya. Dan ini tidak dibolehkan, khususnya jika yang
lewat itu dari jenis yang tidak bisa dilihat oleh manusia yaitu syetan.
Sesungguhnya telah datang kabar yang terang dari perkataan dan perbuatan (Nabi)
-shallallahu 'alaihi wasallam-."[20]
Ibnu Khuzaimah, setelah menyebutkan sebagian hadits-hadits
yang memerintahkan membuat sutrah, dia berkata:
"Kabar-kabar ini semua shahih, sesungguhnya
Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- telah memerintahkan kepada orang
yang shalat agar membuat sutrah di dalam shalatnya."
Abdul Karim menduga, setelah mendapatkan kabar dari Mujahid
dari Ibnu 'Abbas:
"Sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-
pernah shalat tidak menghadap ke sutrah, ketika beliau berada di tanah lapang,[21] karena Arafat di jaman Rasulullah -shallallahu
'alaihi wasallam- tidak ada bangunan yang tegak yang dengannya beliau bisa
membuat sutrah dalam shalatnya!! Padahal sesungguhnya beliau telah
melarang seseorang melakukan shalat, kecuali menghadap ke sutrah. Maka
bagaimana beliau melakukan sesuatu yang beliau sendiri melarangnya?!"[22]
Saya (penulis) berkata: Tidak adanya bangunan tidaklah
menghalangi dari membuat sutrah. Karena telah ada penjelasan yang demikian itu
dalam hadits Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma-.
Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Dia telah shalat
bersama manusia di Mina menghadap ke selain tembok."[23]
Dan terdapat riwayat yang shahih dari jalan lain,
sesungguhnya dia berkata: "Saya menancapkan tombak kecil di hadapan
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- ketika di Arafat dan beliau
shalat ke arahnya dan keledai ada di belakang tombak kecil itu."[24]
Ibnu at-Tirkamani berkata: "Saya katakan bahwa:
"Tidak adanya dinding tidak mengharuskan meniadakan sutrah.
Sementara saya tidak tahu apa sisi pendalilan dari riwayat Malik tersebut yang
menunjukkan, bahwa beliau shalat tidak menghadap ke sutrah."[25]
Setelah beberapa uraian di atas, maka kami (penulis)
berkata: Nyatalah bagi kami dengan jelas, bahwa:
1. Kesalahan orang yang shalat yang tidak meletakkan di
hadapannya atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari lalu-lalangnya
manusia, atau dia berada di tanah lapang
Tidak ada bedanya antara di kota Makkah ataupun di tempat
lainnya dalam hukum tentang sutrah ini secara mutlak.[26]
2. Sebagian ulama menyunnahkan orang yang shalat untuk
meletakkan sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan
dengan tepat ke arah kiblat[27]
Yang demikian ini tidak ada dalilnya yang shahih,
namun kesemuanya itu boleh.[28]
3. Ukuran sutrah yang mencukupi bagi orang yang shalat,
sehingga dia bisa menolak bahayanya orang yang lewat, adalah setinggi pelana
Sedangkan orang yang mencukupkan sutrah yang kurang
dari ukuran itu dalam waktu yang longgar tidak diperbolehkan.
Dan dalilnya dari Thalhah, dia berkata: Rasulullah -shallallahu
'alaihi wasallam- bersabda:
((إِذَا
وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ، فَلْيُصَلِّ،
وَلاَ يُبَالِي مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ))
"Jika
salah seorang dari kalian telah meletakkan tiang setinggi pelana di hadapannya,
maka hendaklah ia shalat dan janganlah ia memperdulikan orang yang ada di
belakangnya."[29]
Dari 'A`isyah -radhiyallahu 'anha-, dia berkata:
"Pada waktu perang Tabuk Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-
ditanya tentang sutrahnya orang yang shalat, maka beliau menjawab:
"Tiang setinggi pelana.""[30]
Dan dari Abu Dzar, dia berkata: Rasulullah -shallallahu
'alaihi wasallam- bersabda:
((إِذَا
قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ
مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ
الرَّحْلِ. فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ
اْلأَسْوَدِ))
"Jika
salah seorang dari kalian berdiri melakukan shalat, maka sesungguhnya dia telah
tertutupi jika di hadapannya ada tiang setinggi pelana. Jika tidak ada tiang
setinggi pelana di hadapannya, maka shalatnya akan diputus oleh keledai atau
perempuan atau anjing hitam."[31]
Para ulama berpendapat, bahwa mengakhirkan penjelasan di
waktu yang dibutuhkan itu tidak boleh. Dan sesungguhnya Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam- hanya ditanya tentang sutrah yang mencukupi, maka
seandainya kurang dari (ukuran) itu mencukupi, tentu tidak boleh mengakhirkan
penjelasan pada saat dibutuhkan.[32]
Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh 'Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi'.[33] Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai
ke ujung jari tengah.[34] Dan ukurannya kurang lebih:
46,2 cm.[35]
Telah tetap, bahwa Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-
shalat menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui keduanya
adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini menguatkan, bahwa yang
dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta adalah pada sisi panjangnya bukan
lebarnya.
Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam- tersebut, bahwa sesungguhnya yang beliau inginkan dengan
sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh.
Di antaranya terdapat riwayat dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-,
bahwa beliau menancapkan tombak kecil untuknya, lalu beliau shalat menghadap
kepadanya. Padahal lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya
pelana."[36]
Dia berkata juga: "Perintah Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam- membuat sutrah (pembatas) dengan anak panah di dalam
shalat, maka hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau -shallallahu
'alaihi wasallam- menginginkan dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang
ukuran panjangnya sama seperti pelana, bukan panjang dan lebarnya secara keseluruhan."[37]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka: Tidak boleh
membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan
lainnya, meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah.
Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang
dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa` -radhiyallahu 'anhu-.
Dan yang sangat pantas disebutkan adalah: Hadits tentang
menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha'if. Telah didha'ifkan
oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya. Ad-Daruquthni
berkata: "Tidak sah dan tidak tetap." Asy-Syafi'i berkata dalam Sunan
Harmalah: "Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di depannya,
kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu diikuti."
Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis
itu bathil." Dan hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang
di masa akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[38]
Setelah ini maka dikatakan:
4. Dalam shalat berjama'ah, makmum itu tidak wajib membuat
sutrah, sebab sutrah dalam shalat berjama'ah itu terletak pada sutrahnya imam
Janganlah seseorang beranggapan, bahwa setiap orang yang
shalat (dalam shalat berjama'ah) sutrahnya itu adalah orang yang shalat
yang ada di depannya. Sesungguhnya hal itu tidak ada pada shaf yang pertama,
sehingga dengan demikian mengharuskan melakukan pencegahan terhadap orang yang
lewat di hadapannya. Sedangkan dalil yang ada menyelisihi hal tersebut, yaitu:
Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Saya dan Fudhail
datang dengan mengendarai keledai betina dan Rasulullah -shallallahu 'alaihi
wasallam- berada di Arafah. Maka kami melewati sebagian shaf, kemudian kami
turun dan kami tinggalkan keledai itu merumput. Lalu kami masuk shalat bersama
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-. Setelah itu beliau -shallallahu
'alaihi wasallam- tidak berkata sepatah kata pun kepada kami."[39]
Dalam satu riwayat: "Sesungguhnya keledai betina itu
melewati di depan sebagian shaf yang pertama."[40]
Ketika Ibnu 'Abbas dan Fudhail di atas keledai betina lewat
di depan shaf yang pertama, tidak ada satupun sahabat yang menolak keduanya dan
keledai betina itupun juga tidak ditolak, kemudian tidak ada seseorang yang
mengingkari mereka atas perbuatannya tersebut, demikian pula Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam-.
Jika ada seseorang yang berkata: "Mungkin Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam- tidak mengetahui yang demikian itu!!"
Maka dikatakan kepadanya: "Jika Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam- tidak melihat kepada keduanya dari sampingnya, maka
beliau melihat keduanya dari belakangnya. Sesungguhnya beliau -shallallahu
'alaihi wasallam- bersabda:
((هَلْ
تَرَوْنَ قِبْلَتِي هَا هُنَا، فَوَاللهِ لاَ يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوْعَكُمْ وَلاَ
رُكُوْعَكُمْ، فَإِنِّي لأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي))
"Apakah
kalian melihat kiblatku di sini, demi Allah kekhusyu'an dan ruku' kalian tidak
ada yang tersembunyi bagiku. Sesungguhnya saya melihat kalian dari belakang
punggungku."[41]
Ibnu Abdil Bar berkata: "Hadits Ibnu 'Abbas ini
memberi kekhususan kepada hadits Abu Sa'id: "Jika ada salah seorang dari
kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang melewati di
depannya," yang demikian itu khusus bagi imam dan orang yang shalat
sendirian. Adapun untuk makmum, orang yang lewat di depannya tidak
membahayakannya, berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas ini."
Selanjutnya dia (Ibnu Abdil Bar) berkata: "Tidak ada
perselisihan di antara para ulama terhadap perkara ini."[42]
Dari sini bisa diketahui: "Sesungguhnya shalat
berjama'ah adalah seseorang shalat dengan beberapa orang, bukannya shalat
dengan jumlah orang yang ada di dalamnya. Oleh karena itu shalat jama'ah
tersebut cukup dengan satu sutrah. Kalau shalat berjama'ah itu pengertiannya
beberapa shalat, tentunya setiap orang yang ada di dalamnya butuh sutrah."[43]
5. Jika seorang Imam tidak membuat sutrah, maka
sesungguhnya dia telah menjelekkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya
dari dia
Sedangkan bagi setiap makmum tidaklah wajib membuat sutrah
untuk dirinya dan (tidak wajib) menahan orang yang melewatinya.[44]
6. Apabila makmum masbuk berdiri untuk menyelesaikan
raka'at yang tertinggal bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai
makmum, maka apa yang dia lakukan?
Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan
shalatnya setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang
terdekat dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun
di belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai
pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap
berdiri di tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya."[45]
Ibnu Rusyd berkata: "Jika dia berdiri untuk
menyelesaikan raka'at shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang,
berjalanlah menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk
raka'at yang tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat
sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di depannya
semampunya dan barangsiapa yang lewat di depannya, maka dia berdosa. Adapun
orang yang lewat di antara shaf-shafnya kaum yang shalat bersama imam, maka
tidak ada dosa baginya dalam hal ini, karena imam adalah sutrah untuk
mereka. Hanya pada Allahlah taufik tersebut."[46]
Inilah yang dikatakan oleh al-Imam Malik dan diikuti oleh
Ibnu Rusydi, yang tidak pantas untuk diselisihi. Sebab, seorang makmum masbuk
yang memasuki shalat sebagaimana yang diperintahkan dan pada saat itu tidak ada
sutrah baginya, maka keadaannya seperti orang yang menjadikan binatang
ternaknya sebagai sutrah, lalu binatang itu lepas. Keadaan dia yang
demikian ini tidaklah digolongkan sebagai orang yang meremehkan perintah
menegakkan sutrah.
Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan membuat sutrah,
agar tidak menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia wajib membuat
sutrah. Jika tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia berusaha
menolak orang yang melewati depannya."[47]
Kesalahan Orang-orang yang Shalat dalam Menghadap ke Sutrah
Abu
'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman
Dari Ibnu 'Umar -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata:
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((لاَ
تُصَلِّي إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ،
فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْن))
"Janganlah
kalian shalat, kecuali menghadap sutrah dan janganlah kalian membiarkan
seorangpun lewat di hadapanmu, jika dia menolak hendaklah kamu bunuh dia, karena
sesungguhnya ada syetan yang bersamanya."[1]
Dari Abu Sa'id al-Khudri -radhiyallahu 'anhuma-, dia
berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ
أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ
فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ))
"Jika
salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan
hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorangpun lewat
di antara engkau dengan sutrah. Jika ada seseorang melewatinya, hendaklah
engkau membunuhnya, karena sesungguhnya dia itu syetan."[2]
Dalam satu riwayat: "Maka sesungguhnya syetan melewati
antara dia dengan sutrah." Dari Sahl bin Abu Hitsmah -radhiyallahu
'anhu-: Dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, beliau berkata:
((إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ، فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَيَقْطَعُ الشَّيْطَانُ
عَلَيْهِ صَلاَتَهُ))
"Jika
salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekatinya,
sehingga syetan tidak memutus atas shalatnya."[3]
Dalam satu riwayat:
((إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ، وَلْيَقْتَرِبْ مِنَ السُّتْرَةِ، فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ))
"Jika
salah seorang dari kalian shalat, maka hendaklah dia memakai sutrah dan
mendekatinya, karena sesungguhnya syetan akan lewat di hadapannya."[4]
Asy-Syaukani berkata sebagai komentar atas hadits Abu Sa'id
yang lalu: "Dalam hadits tersebut mengandung dalil, bahwa membuat sutrah
dalam shalat adalah wajib."[5]
Dia (asy-Syaukani) berkata: "Kebanyakan hadits yang
mencakup perintah membuat sutrah, dan dhahir dari perintah itu
menunjukkan wajib. Jika didapati suatu dalil yang memalingkan perintah
wajib ini kepada sunnah, maka hukumnya menjadi sunnah. Tidaklah benar untuk
dijadikan sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda beliau -shallallahu
'alaihi wasallam-:
"Maka sesungguhnya sesuatu yang lewat di hadapannya
tidak membahayakannya." Karena seseorang yang shalat itu wajib menjauhi
sesuatu yang membahayakannya dalam shalat atau menjauhi sesuatu yang bisa
menghilangkan sebagian pahalanya.[6]
Di antara hal yang menguatkan wajibnya membuat sutrah:
"Sesungguhnya sutrah itu sebab yang syar'i,
yang dengannya shalat seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang
wanita yang baligh, keledai atau anjing hitam, sebagaimana yang terdapat dalam
hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat di hadapannya
serta hukum-hukum selain yang berkaitan dengan sutrah.[7]
Oleh karena itu, salafus shalih -semoga Allah meridhai
mereka- sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Sehingga
datanglah perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan, bahwa mereka sangat
gigih dalam mendorong menegakkan sutrah dan memerintahkannya serta
mengingkari orang yang shalat yang tidak menghadap kepada sutrah,
sebagaimana yang akan engkau lihat.
Dari Qurrah bin 'Iyas, dia berkata: "'Umar telah
melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi
tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata:
"Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya.""[8]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Dengan itu 'Umar
menginginkan agar dia shalat menghadap ke sutrah."[9]
Dari Ibnu 'Umar, dia berkata: "Jika salah seorang dari
kalian shalat, hendaklah dia shalat menghadap ke sutrah dan
mendekatinya, supaya syetan tidak lewat di depannya."[10]
Ibnu Mas'ud berkata: "Empat perkara dari perkara yang
sia-sia: "Seseorang shalat tidak menghadap ke sutrah... atau dia
mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan jawaban."[11]
Wahai saudaraku pembaca, perhatikanlah -semoga Allah
memberikan petunjuk kepadaku dan engkau- bagaimana perintah-perintah itu datang
dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, yang kalau mentaatinya berarti
mentaati Allah. Tidaklah beliau berbicara dari hawa (nafsu)-nya, melainkan dari
wahyu yang diturunkan. Bagaimana para sahabatnya memerintahkan dengan sesuatu
yang beliau perintahkan, sehingga 'Umar -radhiyallahu 'anhu- khalifah
yang lurus, dialah yang mendatangi sahabat yang agung ketika dalam keadaan
shalat, maka dia ('Umar) memegangi tengkuk sahabatnya itu untuk mendekatkannya
ke sutrah, sehingga shalatnya menghadap kepadanya. Dan perhatikanlah,
bagaimana Ibnu Mas'ud menyamakan antara shalatnya seseorang yang tidak
menghadap ke sutrah dengan orang yang tidak memberikan jawaban ketika
mendengar adzan."[12]
Dari Anas, dia berkata: "Sesungguhnya saya melihat
sahabat-sahabat Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bergegas-gegas
menuju ke tiang-tiang di saat shalat Maghrib, sampai Nabi -shallallahu
'alaihi wa sallam- keluar."[13]
Dalam satu riwayat: "Dalam keadaan seperti itu, mereka
shalat dua rakaat sebelum Maghrib."[14]
Anas menceritakan keadaan para sahabat dalam waktu yang
sempit itu, bagaimana mereka bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang untuk
melakukan shalat dua rakaat sebelum Maghrib.
Dari Nafi', dia berkata: "Bahwasanya Ibnu 'Umar jika
tidak mendapati jalan menuju ke salah satu tiang dari tiang-tiang masjid, dia
berkata kepadaku: "Palingkan punggungmu untukku."[15]
Dan dari dia (Nafi') juga, dia berkata: "Bahwa Ibnu
'Umar tidak shalat, kecuali menghadap ke sutrah."[16]
Salamah bin al-Akwa` menegakkan batu-batu di tanah, ketika
dia hendak shalat, dia menghadap kepadanya.[17]
Dalam atsar ini: Tidak ada bedanya antara di tanah lapang
maupun di dalam bangunan. Dhahir hadits-hadits yang lalu serta perbuatan Nabi
menguatkan yang demikian itu, sebagaimana yang telah ditetapkan asy-Syaukani
atas hal tersebut.[18]
Al-Allamah as-Safarini
berkata: "Ketahuilah, sesungguhnya orang yang shalat disunnahkan membuat sutrah
berdasarkan kesepakatan para ulama. Meskipun dia tidak khawatir adanya orang
yang melewatinya. Ini menyelisihi al-Malik. Dalam al-Waadhih: wajib dari
tembok atau sesuatu yang dapat jadi penghalang (sutrah) tersebut dan
luasnya sutrah itu mengherankan al-Imam Ahmad.[19] Pemutlakan tersebut sangat tepat, karena
penjelasan alasannya hanya bersandar dengan ra'yu (pikiran) semata,
tidak ada dalil padanya dan di dalamnya terdapat pengguguran hanya dengan ra'yu
terhadap nash-nash yang mewajibkan untuk membuat sutrah sebagiannya
telah disebutkan sebelumnya. Dan ini tidak dibolehkan, khususnya jika yang
lewat itu dari jenis yang tidak bisa dilihat oleh manusia yaitu syetan.
Sesungguhnya telah datang kabar yang terang dari perkataan dan perbuatan (Nabi)
-shallallahu 'alaihi wasallam-."[20]
Ibnu Khuzaimah, setelah menyebutkan sebagian hadits-hadits
yang memerintahkan membuat sutrah, dia berkata:
"Kabar-kabar ini semua shahih, sesungguhnya
Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- telah memerintahkan kepada orang
yang shalat agar membuat sutrah di dalam shalatnya."
Abdul Karim menduga, setelah mendapatkan kabar dari Mujahid
dari Ibnu 'Abbas:
"Sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-
pernah shalat tidak menghadap ke sutrah, ketika beliau berada di tanah lapang,[21] karena Arafat di jaman Rasulullah -shallallahu
'alaihi wasallam- tidak ada bangunan yang tegak yang dengannya beliau bisa
membuat sutrah dalam shalatnya!! Padahal sesungguhnya beliau telah
melarang seseorang melakukan shalat, kecuali menghadap ke sutrah. Maka
bagaimana beliau melakukan sesuatu yang beliau sendiri melarangnya?!"[22]
Saya (penulis) berkata: Tidak adanya bangunan tidaklah
menghalangi dari membuat sutrah. Karena telah ada penjelasan yang demikian itu
dalam hadits Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma-.
Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Dia telah shalat
bersama manusia di Mina menghadap ke selain tembok."[23]
Dan terdapat riwayat yang shahih dari jalan lain,
sesungguhnya dia berkata: "Saya menancapkan tombak kecil di hadapan
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- ketika di Arafat dan beliau
shalat ke arahnya dan keledai ada di belakang tombak kecil itu."[24]
Ibnu at-Tirkamani berkata: "Saya katakan bahwa:
"Tidak adanya dinding tidak mengharuskan meniadakan sutrah.
Sementara saya tidak tahu apa sisi pendalilan dari riwayat Malik tersebut yang
menunjukkan, bahwa beliau shalat tidak menghadap ke sutrah."[25]
Setelah beberapa uraian di atas, maka kami (penulis)
berkata: Nyatalah bagi kami dengan jelas, bahwa:
1. Kesalahan orang yang shalat yang tidak meletakkan di
hadapannya atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari lalu-lalangnya
manusia, atau dia berada di tanah lapang
Tidak ada bedanya antara di kota Makkah ataupun di tempat
lainnya dalam hukum tentang sutrah ini secara mutlak.[26]
2. Sebagian ulama menyunnahkan orang yang shalat untuk
meletakkan sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan
dengan tepat ke arah kiblat[27]
Yang demikian ini tidak ada dalilnya yang shahih,
namun kesemuanya itu boleh.[28]
3. Ukuran sutrah yang mencukupi bagi orang yang shalat,
sehingga dia bisa menolak bahayanya orang yang lewat, adalah setinggi pelana
Sedangkan orang yang mencukupkan sutrah yang kurang
dari ukuran itu dalam waktu yang longgar tidak diperbolehkan.
Dan dalilnya dari Thalhah, dia berkata: Rasulullah -shallallahu
'alaihi wasallam- bersabda:
((إِذَا
وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ، فَلْيُصَلِّ،
وَلاَ يُبَالِي مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ))
"Jika
salah seorang dari kalian telah meletakkan tiang setinggi pelana di hadapannya,
maka hendaklah ia shalat dan janganlah ia memperdulikan orang yang ada di
belakangnya."[29]
Dari 'A`isyah -radhiyallahu 'anha-, dia berkata:
"Pada waktu perang Tabuk Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-
ditanya tentang sutrahnya orang yang shalat, maka beliau menjawab:
"Tiang setinggi pelana.""[30]
Dan dari Abu Dzar, dia berkata: Rasulullah -shallallahu
'alaihi wasallam- bersabda:
((إِذَا
قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ
مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ
الرَّحْلِ. فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ
اْلأَسْوَدِ))
"Jika
salah seorang dari kalian berdiri melakukan shalat, maka sesungguhnya dia telah
tertutupi jika di hadapannya ada tiang setinggi pelana. Jika tidak ada tiang
setinggi pelana di hadapannya, maka shalatnya akan diputus oleh keledai atau
perempuan atau anjing hitam."[31]
Para ulama berpendapat, bahwa mengakhirkan penjelasan di
waktu yang dibutuhkan itu tidak boleh. Dan sesungguhnya Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam- hanya ditanya tentang sutrah yang mencukupi, maka
seandainya kurang dari (ukuran) itu mencukupi, tentu tidak boleh mengakhirkan
penjelasan pada saat dibutuhkan.[32]
Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh 'Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi'.[33] Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai
ke ujung jari tengah.[34] Dan ukurannya kurang lebih:
46,2 cm.[35]
Telah tetap, bahwa Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-
shalat menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui keduanya
adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini menguatkan, bahwa yang
dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta adalah pada sisi panjangnya bukan
lebarnya.
Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam- tersebut, bahwa sesungguhnya yang beliau inginkan dengan
sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh.
Di antaranya terdapat riwayat dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-,
bahwa beliau menancapkan tombak kecil untuknya, lalu beliau shalat menghadap
kepadanya. Padahal lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya
pelana."[36]
Dia berkata juga: "Perintah Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam- membuat sutrah (pembatas) dengan anak panah di dalam
shalat, maka hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau -shallallahu
'alaihi wasallam- menginginkan dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang
ukuran panjangnya sama seperti pelana, bukan panjang dan lebarnya secara keseluruhan."[37]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka: Tidak boleh
membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan
lainnya, meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah.
Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang
dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa` -radhiyallahu 'anhu-.
Dan yang sangat pantas disebutkan adalah: Hadits tentang
menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha'if. Telah didha'ifkan
oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya. Ad-Daruquthni
berkata: "Tidak sah dan tidak tetap." Asy-Syafi'i berkata dalam Sunan
Harmalah: "Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di depannya,
kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu diikuti."
Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis
itu bathil." Dan hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang
di masa akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[38]
Setelah ini maka dikatakan:
4. Dalam shalat berjama'ah, makmum itu tidak wajib membuat
sutrah, sebab sutrah dalam shalat berjama'ah itu terletak pada sutrahnya imam
Janganlah seseorang beranggapan, bahwa setiap orang yang
shalat (dalam shalat berjama'ah) sutrahnya itu adalah orang yang shalat
yang ada di depannya. Sesungguhnya hal itu tidak ada pada shaf yang pertama,
sehingga dengan demikian mengharuskan melakukan pencegahan terhadap orang yang
lewat di hadapannya. Sedangkan dalil yang ada menyelisihi hal tersebut, yaitu:
Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Saya dan Fudhail
datang dengan mengendarai keledai betina dan Rasulullah -shallallahu 'alaihi
wasallam- berada di Arafah. Maka kami melewati sebagian shaf, kemudian kami
turun dan kami tinggalkan keledai itu merumput. Lalu kami masuk shalat bersama
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-. Setelah itu beliau -shallallahu
'alaihi wasallam- tidak berkata sepatah kata pun kepada kami."[39]
Dalam satu riwayat: "Sesungguhnya keledai betina itu
melewati di depan sebagian shaf yang pertama."[40]
Ketika Ibnu 'Abbas dan Fudhail di atas keledai betina lewat
di depan shaf yang pertama, tidak ada satupun sahabat yang menolak keduanya dan
keledai betina itupun juga tidak ditolak, kemudian tidak ada seseorang yang
mengingkari mereka atas perbuatannya tersebut, demikian pula Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam-.
Jika ada seseorang yang berkata: "Mungkin Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam- tidak mengetahui yang demikian itu!!"
Maka dikatakan kepadanya: "Jika Nabi -shallallahu
'alaihi wasallam- tidak melihat kepada keduanya dari sampingnya, maka
beliau melihat keduanya dari belakangnya. Sesungguhnya beliau -shallallahu
'alaihi wasallam- bersabda:
((هَلْ
تَرَوْنَ قِبْلَتِي هَا هُنَا، فَوَاللهِ لاَ يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوْعَكُمْ وَلاَ
رُكُوْعَكُمْ، فَإِنِّي لأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي))
"Apakah
kalian melihat kiblatku di sini, demi Allah kekhusyu'an dan ruku' kalian tidak
ada yang tersembunyi bagiku. Sesungguhnya saya melihat kalian dari belakang
punggungku."[41]
Ibnu Abdil Bar berkata: "Hadits Ibnu 'Abbas ini
memberi kekhususan kepada hadits Abu Sa'id: "Jika ada salah seorang dari
kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang melewati di
depannya," yang demikian itu khusus bagi imam dan orang yang shalat
sendirian. Adapun untuk makmum, orang yang lewat di depannya tidak
membahayakannya, berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas ini."
Selanjutnya dia (Ibnu Abdil Bar) berkata: "Tidak ada
perselisihan di antara para ulama terhadap perkara ini."[42]
Dari sini bisa diketahui: "Sesungguhnya shalat
berjama'ah adalah seseorang shalat dengan beberapa orang, bukannya shalat
dengan jumlah orang yang ada di dalamnya. Oleh karena itu shalat jama'ah
tersebut cukup dengan satu sutrah. Kalau shalat berjama'ah itu pengertiannya
beberapa shalat, tentunya setiap orang yang ada di dalamnya butuh sutrah."[43]
5. Jika seorang Imam tidak membuat sutrah, maka
sesungguhnya dia telah menjelekkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya
dari dia
Sedangkan bagi setiap makmum tidaklah wajib membuat sutrah
untuk dirinya dan (tidak wajib) menahan orang yang melewatinya.[44]
6. Apabila makmum masbuk berdiri untuk menyelesaikan
raka'at yang tertinggal bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai
makmum, maka apa yang dia lakukan?
Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan
shalatnya setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang
terdekat dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun
di belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai
pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap
berdiri di tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya."[45]
Ibnu Rusyd berkata: "Jika dia berdiri untuk
menyelesaikan raka'at shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang,
berjalanlah menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk
raka'at yang tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat
sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di depannya
semampunya dan barangsiapa yang lewat di depannya, maka dia berdosa. Adapun
orang yang lewat di antara shaf-shafnya kaum yang shalat bersama imam, maka
tidak ada dosa baginya dalam hal ini, karena imam adalah sutrah untuk
mereka. Hanya pada Allahlah taufik tersebut."[46]
Inilah yang dikatakan oleh al-Imam Malik dan diikuti oleh
Ibnu Rusydi, yang tidak pantas untuk diselisihi. Sebab, seorang makmum masbuk
yang memasuki shalat sebagaimana yang diperintahkan dan pada saat itu tidak ada
sutrah baginya, maka keadaannya seperti orang yang menjadikan binatang
ternaknya sebagai sutrah, lalu binatang itu lepas. Keadaan dia yang
demikian ini tidaklah digolongkan sebagai orang yang meremehkan perintah
menegakkan sutrah.
Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan membuat sutrah,
agar tidak menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia wajib membuat
sutrah. Jika tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia berusaha
menolak orang yang melewati depannya."[47]
Demikianlah artikel tentang kesalahan orang sholat dalam menghadap sutrah semoga bermanfaat.
Demikianlah artikel tentang kesalahan orang sholat dalam menghadap sutrah semoga bermanfaat.