MAKALAH PERAN PENDIDIKAN SEBAGAI MODAL UTAMA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Table of Contents
PERAN PENDIDIKAN SEBAGAI
MODAL UTAMA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Pendahuluan
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar karena didukung oleh sejumlah fakta positif
yaitu posisi geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman
hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena
itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa
yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Namun demikian, untuk
mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi berbagai masalah nasional yang
kompleks, yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek politik, di mana masalahnya
mencakup kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan Negara
yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, dan berkembangnya
pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigm ekonomi
yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yang belum
mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak, dan kebijakan
perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, masalah yang
terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan, disorientasi
nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial, dan melemahnya
mentalitas positif (PP Muhammadiyah, 2009: 10-22).
Dari
sejumlah fakta positif atas modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia, jumlah
penduduk yang besar menjadi modal yang paling penting karena kemajuan dan kemunduran
suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-masalah
politik, ekonomi, dan sosial budaya juga dapat diselesaikan dengan SDM. Namun
untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan menghadapi berbagai persaingan
peradaban yang tinggi untuk menjadi Indonesia yang lebih maju diperlukan
revitalisasi dan penguatan karakter SDM yang kuat. Salah satu aspek yang dapat
dilakukan untuk mempersiapkan karakter SDM yang kuat adalah melalui pendidikan.
Pendidikan
merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi
individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri,
bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat
dari aspek jasmani maupun ruhani. Manusia
yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk
dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan
kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu
merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan
pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas yang
mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“… agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Melihat
kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan
kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global
dan daya saing bangsa. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang
dalam UU tersebut. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih
belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk
kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek di kala sedang
menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan
pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru,
pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak
kalah mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam
sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terang sangat
memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak
tahun 1945. Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini
fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa
kita kelak menjadi manusia yang tidak bermoral sebagaimana saat ini sering kita
melihat tayangan TV yang mempertontonkan berita-berita seperti pencurian,
perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya
oleh orang-orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak usia belasan.
Mencermati
hal ini, saya mencoba memberikan beberapa gagasan untuk penguatan mutu karakter
SDM sehingga mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan
mengacu pada peran pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan
implementasi pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun
masyarakat.
Kenapa Pendidikan?
Pendidikan
merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak
selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi.
Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk
kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun
2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut.
Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang
terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus,
lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan
pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan
pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk
kegiatan belajar secara mandiri.
Memperhatikan ketiga jenis
pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan
informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu
dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan
pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut
berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan
pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah,
namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian
antarpelajar, memiliki ’ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan
perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan
moralitas dan prilaku sosial pelajar (Suyanto dan Hisyam, 2000: 194).
Oleh karena itu, ke depan dalam rangka
membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga
komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah
pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak
pada fase negatif, yang meliputi keinginan untuk menyendiri, kurang kemauan
untuk bekerja, mengalami kejenuhan, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan
sosial, ada kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan
jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal (Mappiare
dalam Suyanto dan Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mempelajari gejala-gejala
negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan
dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak
dalam proses pendidikan formal, non formal dan informal.
Ciri Karakter SDM
SDM
merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan maju.
Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus berkarakter. SDM yang
berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang lain
seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran,
kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat
dalam dirinya.
Secara
lebih rinci, saya kutip beberapa konsep tentang manusia Indonesia yang
berkarakter dan senantiasa melekat dengan kepribadian bangsa. Ciri-ciri
karakter SDM yang kuat meliputi (1) religious, yaitu memiliki sikap hidup dan
kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong
menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak
radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan
sosial, berorientasi materi dan ruhani serta mampu hidup dan kerjasama dalam
kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang
rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) mandiri, yaitu memiliki
sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu,
ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa
kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan
antarperadaban bangsa-bangsa (PP Muhammadiyah, 2009: 43-44).
Pendidikan Karakter
Berbicara
pembentukan kepribadian tidak lepas dengan bagaimana kita membentuk karakter
SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk
mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional
dan global (Muchlas dalam Sairin, 2001: 211). Tantangan regional dan global
yang dimaksud adalah bagaimana generasi muda kita tidak sekedar memiliki
kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk
itu, pendidikan karakter diperlukan untuk mencapai manusia yang memiliki
integritas nilai-nilai moral sehingga anak menjadi hormat sesama, jujur dan
peduli dengan lingkungan.
Lickona
(1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya:
(1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena
lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral
pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3)
Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak
anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau
lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal
masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab,
(5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi
merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu
sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai.
Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa
desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan
terus menjadi guru yang baik, dan (7) Pendidikan karakter yang efektif membuat
sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi
akademik yang meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat
perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan
yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak
terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya
kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang
dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona
dalam Elkind dan Sweet (2004) menggagas
pandangan bahwa pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang
untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan
karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang
hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat,
dan bangsa.
Pandangan
ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang ada di pendidikan formal, non
formal dan informal harus mengajarkan peserta didik atau anak untuk saling
peduli dan membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi karena didasarkan
dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik
dan tokoh panutan sangat membantu membentuk karakter peserta didik atau anak.
Implementasi Pendidikan Karakter
Upaya
untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan
Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek
kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik (Elkind dan Sweet,
2005).
1. Segala
sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru,
dan masyarakat
2. Sekolah
merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas
yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
3. Pembelajaran
emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
4. Kerjasama
dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan
persaingan
5. Nilai-nilai
seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran
sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
6. Siswa-siswa
diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui
kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
7. Disiplin
dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan
hadiah dan hukuman
8. Model
pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas
demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan
memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga pendidikan
atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan
guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan
unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi
guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan
dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar
siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di
sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala
sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan
moral (US Department of Education).
Mengacu pada konsep pendekatan holistik
dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu
meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara
berkelanjutan (continually) sehingga
nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya sampai
pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan keluarga
atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak tidak
terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa anak.
Bagaimana
Peran Pendidik dalam Membentuk Karakter SDM?
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa
saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta
didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang
belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006)
menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya:
1. Pendidik
perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif
sebagai upaya membangun pendidikan karakter
- Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3. Pendidik
perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan
berpartisipasi dalam mengambil keputusan
4. Pendidik
perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin
untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
- Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat
lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah:
(1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif
aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif,
(3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis,
dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik
perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode
pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan
manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk
karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi
karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya
mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam
membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1)
harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan
siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh
tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu
mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran
yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga
kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang
saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan
mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih
bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan
siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa
sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal
seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus
menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki
kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus
memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter
anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri
kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang
pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan
berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya:
(1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan,
(3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4)
signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial
identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).
Penutup
Sebagai penutup, saya simpulkan
bahwa pembentukan karakter SDM yang kuat sangat diperlukan untuk menghadapi
tantangan global yang lebih berat. Karakter SDM dalam dibentuk melalui proses
pendidikan formal, non formal, dan informal yang ketiganya harus bersinergis.
Untuk menyinergiskan, peran pendidik dalam pendidikan karakter menjadi sangat
vital sehingga anak didik atau SDM Indonesia menjadi manusia yang religius,
moderat, cerdas, dan mandiri sesuai dengan cita-cita dan tujuan pendidikan
nasional serta watak bangsa Indonesia.
Daftar
Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar. Membangun Sumber Daya Manusia dengan
Kesinergisan antara Kecerdasan Spiritual, Emosional, dan Intelektual.
Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Kehormatan Doctor Honoris Causa di Bidang
Pendidikan Karakter, UNY 2007.
Azra, Azyumardi. Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa. 2006
Djalil, Sofyan A. dan Megawangi, Ratna.
Peningkatan Mutu Pendidikan di Aceh
melalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter. Makalah
Orasi Ilmiah pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis ke 45
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 2 September 2006.
Elkind, David H.
dan Sweet, Freddy. How to
Do Character Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan
September/Oktober 2004.
Jalal,
Fasli dan Supriadi, Dedi. Reformasi
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa,
2001.
Lickona,
Thomas, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books, 1992.
Lickona, Tom; Schaps, Eric, dan Lewis,
Catherine. Eleven Principles of Effective
Character Education. Character Education Partnership, 2007.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.
Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2009.
Sairin, Weinata. Pendidikan yang Mendidik. Jakarta: Yudhistira, 2001
Suyanto
dan Hisyam, Djihad. Pendidikan di
Indonesia Memasuki Milenium III: Refleksi dan Reformasi. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa, 2000.
Suyatno;
Sumedi, Pudjo, dan Riadi, Sugeng (Editor). Pengembangan
Profesionalisme Guru: 70 Tahun Abdul Malik Fadjar. Jakarta: UHAMKA Press,
2009.
U. S. Department of Education. Office of Safe and Drug-Free Schools. 400 Maryland Avenue, S.W.
Washington, DC.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai peran pendidikan semoga bermanfaat.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai peran pendidikan semoga bermanfaat.