Makalah Fiqih Masa Imam Syafi'i
Table of Contents
(FIQH
PADA ZAMAN IMAM AS-SYAFI’I)
2.1 Imam syafi’I (150-204 H – 767-822 M)
Beliau adalah Muhammad bin idris bin abbas
bin usman bin syafi;I bin as-sa’ib bin Ubaid bin abdu yaziz bin hasyim bin
murhalib bin abdu manaf.
Silsilah imam
al-asyafi’I dari ayahnya bertemu dengan silsilah nabi Muhammad saw . pada abdu
manaf. Oleh karena itu , beliau termasuk suku quraisy. Ibunya dari suku al-azdi
di yaman . beliau dilahirkan di gaza , salah satu kota di palestina pada tahun
150 H. ayahnya meninggal ketka beliau masih bayi . sehingga al-syafi’I
dibsarkan dalam keadaan yatim dan kafir .
Muhammad bin idris ketika berumur kurang
lebih 10 tahun dibawa oleh ibunya ke Makkah, ketika itu beliau telah hafal al-
quran . di mekkah beliau banya mendapatkan hadist dari ulama-ulama hadist .
karena kefakirannya sering memungut kertas-keras yang telah dibuang kemudian
dipakainya untuk menulis . ketika semangatnya untuk menuntut ilmu makin kuat
dan menyadari bahwa al-quran itu bahasanya sangat indah dan maknanya sangat
dalam, maka beliau pergi ke kabilah hudzail untuk Mempelajari dan mendalami
sastra arab serta mengikuti saran hidup Muhammad saw . pada masa kecilnya ,
disana beliau sampai hafal sepuluh ribu bait syair-syair arab.
Dimekkah Muhammad bin idris bergurunkepada
sufyan bin uyainah dan kepada muslim bin khalid . setelah itu pergi ke Madinah
untuk berguru kepada iamam malik . sebelum pergi ke Madinah beliau telah
membaca dan hafal kitab al-muwatha . beliau membawa surat dari wali mekkah
ditunjukan untuk wali Madinah agar mudh bertemu dengan imam malik. Pada waktu
itu Muhammad bin idris sudah berumur 20 tahun . kemudian bergur kepada imam
malik selama 7 tahun.
Karena terdesak oleh hidupnya , imam syafi’I
kemudian bekerja di yaman . tragedy pernah menimpanya waktu bekerja di yaman ,
ia dituduh terlibat gerakan syiah sehingga dihadapkan kepada khalifah harun
al-rasyid di bagdadd. Oleh karena ilmunya yang tinggi dan atas bantuan Muhammad
bin hasan asyaibani (murid abu hanifa ), beliau tidak dijatuhi hukuman dan
bahkan kemudian beliau berguru kepada Muhammad bin hasan asyaibani serta
bertempat tinggal dirumahnya .
Muhammad bin hasan asyaibani pernah
belajar kepada imam malik selama 3 tahun . dari Muhammad bin hasan
asyaibani beliau mendapat pelajaran fiqh
imam abu hanifah selama dua tahun . kemudiankembali ke mekkah . pada kesempatan
usim haji beliau bertemu dengan ulama-ulama yang pergi ke mekkah naik haji dari
seluruh dunia islam . dengan demikian fiqh imam syafi’I menyebar diseluruh
wilayah islam .
Beliau bermukim dimekkah selama tujuh
tahun . kemudian pada tahun 195 H , kembali lagi ke Baghdad dan sempat berjiarah
kekuburan abu hanifah ketika umurnya 45 tahun . di Baghdad belau meberikan
pelajaran kepada murid-murdnya . diantara muridnya yang sangat terkenal adalah
ahmad ibn hanbal yang sebelumnya pernah bertemu dengan imam-al-syafii dimekkah.
Ahmad bin ibn hanbal sangat mengagumi kecerdasan dan kekuatan daya ingat imam
al-syafii serta kesederhanaan dan keikhlasan dalam bersikap. Setelah dua tahun
di Baghdad, kembali lagi ke Madinah tetapi tidak lama dan pada tahun 198 h,
beliau kembali ke Baghdad, selanjutnya terus ke mesir dan sampai dimesir tahun
199 H.
Dimesir beliau memberi pelajaran
fatwa-fatwanya kemudiaan terkenal dengan nma qaul jadid. Sedangkan fatwanya
waktu dibahdad disebut qaul qodim. Ima al-syafii meninggal dimesir pada tahun
204 H atau 822 M. pada waktu meninggal imam al-syafii , gubernur mesir ikut
memandikan dan menyalatkan jenazahnya.
Dari riwayatnya hidupnya tampak juga bahwa
imam al-syafii adalah seorang ulama besar yang mampu mendalami serta
menggabungkan antara metode ijtihad imam malik dan metode imam abu
hanifah,sehingga menemukan metode ijtihadnya sendiri yang mandiri. Beliau
sangat berhati-hati dalam berfatwa, sehingga dalam fatwanya itu ada keseimbang
antara rasio dan rasa.
Bagi imam syafii iadah itu harus membawa
kepuasan dan ketenangan dalam hati. Untuk itu diperlukan kehati-hatian. Oleh
karena itu, konsep ikhtiyat (prinsip kehati-hatian) mewarnai pemikiran imam
syafii.
Dari riwayat hidupnya tampak juga bahwa imam al-syafii
menghindari perselisihan dengan pemegang kekuasaan pada masa itu. Hal ini tidak
berarti bahwa imam al-syafii tidak menentang perbuatan-perbuatan maksiat . ini
dibuktikan , misalnya beliau pernal menolak tawaran khalifah untuk menjadi
qadi.
2.2
Pandangan al-quran menurut imam
al-syafi’i
Imam
as-syafi’i, sebagai mana para ulama lainnya, menetapkan bahwa al-quran
merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, bahkan beliau berpendapat,
“tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama apapun,kecuali petunjuknya
terdapat dalam al-quran. Oleh karena itu imam as-syafi’i senantiasa
mencantumkan nash-nash al-quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai
metode yang digunakannya, yakni dedukatif.
Namun
imam as-syafi’i menganggap bahwa al-quran tidak bisa dilepaskan dari as-sunah,
karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain
menganggap bahwa sumber hukum islam yang pertama itu al-quran kemudian
as-sunah, maka imam as-syafi’i berpendapat bahwa sumber hukum islam yang
pertama itu al-quran dan as-sunah, sehingga beliau menganggap keduanya berada pada
satu martabat.
Sebenarnya,
imam as-syafi’i pada beberapan tulisannya yang lain tidak menganggap bahwa
al-quran itu satu martabat dengan as-sunah. tapi asy-syafi’i mengaggap bahwa
keduanya berasal dari Allah SWT. Meskipun mengakui bahwa diantara keduanya
terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurutnya as-sunah merupakan
penjelasan berbagai keterangan bersifat umum yang ada dalam al-quran.
Kemudian
imam as-syafi’i menganggap al-quran itu seluruhnya berbahasa arab, dan ia
menentang mereka berangggapan bahwa dalam al-quran terdapat bahasa ‘ajam (luar
arab).
2.3 Mazhab lmam Syafi’i
Mazhab Asy-Syafi’iyah dalam
menerima hadis ahad mensyaratkan empat syarat
1.
Perawinya tsiqat dan terkenal shidiq.
2.
Perawinya cerdik
danmemahami isi hadis yang diriwayatkannya.
3.
Periwayatannya
dengan riwayat bi al-lafzi, bukan riwayat bi al-makna.
4.
Periwayatannya
tidak menyalahi hadis Al-Ilmi (Al- Amidi, l 1968 :178)
Persyaratan Asy-Syafi’i tersebut sebenarnya hanya merupakan persyaratan
kesahihan suatu hadis pada umumnya, yaitu sahih sanad dan muttasil. Oleh sebab
itu As-Syafi’i menerimahadis ahad, apabila sanadnya sahih dan bersambung, tanpa
mensyarakatkan syarat lain, seperti ulama di atas. Hadis mursal tidak diterima,
kecuali ada beberapa syarat tertentu.
Ulama Hanafiyah dan lmam Ahmad dalam menerima hadis ahad
tidak mensyaratkan sesuatu pun, kecuali sahih sanad-nya seperti Asy-Syafi’i.
Bahkan ia menerima hadis mursal, namun
lebih mendahulukan fatwa sahabat daridapada hadis da’if.
2.4 Dasar-dasar Mazhab Syafi’iyah
dapat
dilhat dalam kitab ushul fiqih Ar-Risalah dan kitab fiqih al-Umm. Didalam
buku-buku tersebut imam
Syafi’i menjelaskantentang dasar-dasar mazhab yang pokok ialah
1.Al-Quran,
tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud
bukan arti lahiriyahnya. Imam Syafi’i pertama sekali selalu mencari alasannya
di Al-Quran dalam menetapkan hukum islam.
2.Sunnah
dari rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari
Al-Quran. Imam Syafi’i sangat kuat pembelannya terhadap sunnah.
3.Ijma,
atau kesepakatan para sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat
dalam satu masalah. Ijma yang diterima oleh Imam Syafi’i sebagai landasan hukum
adalah ijma para sahabat, buakan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa
tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya hal seperti ini tidak terjadi.
4.Qiyas
yang dalam Ar-Risalahdisebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma tidak juga
ditemukan hukumnya. Akan tetapi lmam Syafi’i menolak dasar isthisan dan
istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum islam.
2.5 Beberapa kitab-kitab yang beliau karang
1. Kitab
al-risalah. Yang merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kalinya dikarang dan
karenanya imam al-syafii dikenal sebagai peletak ilmu ushul fiqih. Didalamnya
diterangkan pokok-pokok pikiran iamam al-syafii dalam menetapkan hukum .
2. Kitab
al-umm. Kitab ini berisi masalah-maslah fiqh yang dibahas beerdasarkan
pokok-pokok pikiran beliau yang terdapat dalam al-risalah .
Ulama-ulama
besar yang bermazhab al-syafii diantaranya adalah : ar-robi al-murobi , yusuf
bin yahya al-buwaiti , al-mujani, Abdullah al-juwaeni, al-ghozali .ar-razi,abu
isak asyirozi,izudin bin abdi as-salam,taiyudin asubki , al-mawardi,taqiyuddin
bin daqiqil’id, an-nawawi, dan masih banyak yang lainnya. Salah seorang
muridnya yang pandai adalah ahmad ibn hanbal.
3. Kitab
al-musnad, sebuah kitab yang istimewa
berisikan tentang sandaran (sandaran) Imam Syafi’i dalam meriwahatkan
hadis-hadis Nabi SAW. Yang beliau himpun dalam kita Al-Umm.
4. Kitab Jaumu’ul ilmi, yang beriksikan tentang pembelaan
imam As-Syafi’i terhadap sunnah Nabi SAW.
5. Kitab Ibtahlul Istihsan, berisikan sanggahan imam as-syafi’i
terhadap para ulama irak.
6. Kitab Ikhtaful hadis, satu-satunya kita yang penuh dengan
keterangan dan penjelasan tentang perselisihan hadis-hadis Nabi SAW.
2.6 Metodologi pemikiran hukum islam imam syafi’I
Mengutip dari blognya, Dr. H.
roibin,M.HI tahun 2012 menjelaskan metodologi pemikiran hukum islam imam
syafi’i. prestasi yang patut dicatat dalam diri imam syafi’I antara lain karena
:
a. Sebagai
perintis dasar-dasar konseptual tentang hadist
b. Sebagai
peletak utama dasar metodologi (ushul fiqh) dalam hukum islam.
Gejala-gejala itu mulai tampak
ketika imam syafi’I banyak belajar dan
berguru tentang hadist/sunah kepada iamam malik. Sejak itulah imam
syafii mulai berani memberi perumusan sistematik dan tegas, bahwa sunah yang harus
diikuti bukannlah setiap bentuk Sunnah,
melainkan Sunnah yang hanya berasal langsung dari nabi. Konsekuensi
pemahaman sepertinya ialah bahwa kritik
terhadap Sunnah dalam bentknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi
terdahulu harus dilakukan.
Dengan melakukan seleksi ketat ,
mana yang benar-benar berasla dari nabi dan mana yang diklaim sebagau dari
nabi. Sejak itupula semua laporan dan cerita tentang hadist harus diuji secara
teliti menurut standar ilmiah tertentu yang kritis. Berawal dri sini ilmu
mushthalah al-hadist yang juga disebut ilmu dirayah al-hadist (ilmu kritik
terhadap hadist) telah muncul. Kenyataan inilah yang mebuatnya dijuluki sebagai
perintis kajian ilmiah hadist .
Penelitian
ilmiah terhadap laporan dan cerita nabi, yang ia rintis telah memperoleh bentukya
yang paling kuat setelah munculnya sarjana hadist kelahiran Bukhara dikawasan
transsoksania, yang dianggap paling tinggi otoritas ilmiahnya, yaitu
al-bukhari. Berkat kepeloporan imam syafi’I mucul pula serta berturut-turut
beberapa tokoh hadist yang kritis, yang secara kolektif karya-karya mereka
dinamai dengan al-kutub al-sitah. Banyak hal yang melatar belakngi imam syafi’I
bertindak kritis seprti ini, antara lain kegiatan pemikiran yang berkembang
dengan pesatnya ketika itu, hingga membuka kemungkinan untuk membwa ide0ide
dasar agama menjadi relevan dengan perkembangan tuntutan masyarakat, disatu
sisi. Meskipun disii lain kemampuan intelektual pada ujung-ujungnya bermasalah,
yaitu pemikiran yang keluar dari teks selalu dianggap sebagai pendapat pribadi.
Sehingga selalu rawan terhadap ancaman subjektifvisme. Keadaan inilah yang
mendorong imam syafii untuk penajaman batasan dan pemastian keabsahan antara
Sunnah dana tsar.
Disadari
atau tidsk metodologi pemikiran imam syafi’I ini ternyata menjadi model yang
paling khas diantara beberapa model yang digunakan untuk mendekati
dan menggali suatu hukum. Sisi lain yang tak kalah menarik adalah, bahwa
metodologi pemikiran imam syafi’I sejak diterbitkannya hingga kini belum ada
tandingannya. Disinilah urgensi sebuah metodologi yang memiliki daya akualitas
sepanjang sejarah, suatu ,etodologi yang
langsung mengadopsi logika al-quran. Daya akualitas ddan universalitas
metodologi pemikiran hukum imam al-syafi’I tersebt, disatu sisi memudahkan para
ulama yang datang kemudian, namun disisi lain mebuat para ulama modern enggan
memaksimalkan emikirannya, dan yang terjadi adalah pengulangan ide-ide lama.
Dengan
demikian setiap ulama yang akan menetapkan suatu hukum iatas suatu
kejadian/fenomena, tentu mereka akan lebih dahulu menetPKn metode berpikir mana
yang akan dipilih dan diikuti. Dan bukan metdologi yang dikreasi sendiri. Yag
selalu memiliki relevansi dan signifikasi terhadap tuntutan budayanya. Meskipun
dari berbagai sisi kita ketahui bahwa metode berpikir akan sangat menentukan
hasil keputusan akhir dari suatu hukum. Indikasi ini bisa kita kihat dari
ragamnya para ulama fiqh dalam memilih dan menerapkan metode berpikirnya,
hingga berakhir pada formulasi fiqh yang berbeda pula.
Dalam
pandangan ali hasbullah , ada du acara pendekatan yang dikembangkan oleh para
ulama ushul fiqh dalam melakukan istinbath hukum, yaitu :
a. Melalui
pendekatan kaidah-kaidah kebahasaan (teks), dan
b. Dengan
pendekatan makna atau maksud syari’ah (konteks).
Cara-cara pendekatan seperti ini,
dari suatu aspek memiliki kekurangan karena pendekatan sepertinya masih
bersifat umum. Dan metodologi yang telah mengenalkan kaidah-kaidah teoriik yang
telah diilhami oleh logika al-quran. Tentu metodologi sepertinya adalah
metodologi yang telah melalui proses panjang, antara lain pertanyaan syafi’I
menyangkut esensi al-quran . bagi syafi’I suatu pendekatan yang jarang
dilakukan adalah pendekatan yang terinci menyangkut penggunaan dalil dan
pemaknaan atas pemahaman dalil tersebut, maka formulasi fiqhnya pun juga akan
jauh berbeda. Baginya dua pokok pemikiran ini merupakan persoalan yang
fundamental.
Istilah dalil yang digunakan imam
syafi’I diatas agaknya identic dengan sumber hukum. Kata sumber untuk hukum
islam ini, merupakan terjemah dari arab , yaitu mashadir, dimana kata tersebut
hanya digunakan oleh sebagian kecil para penulis kontemporer dalam hukum islam,
sebagai ganti dari sebutan al-adillah al-Syariiyah dan tidak ditemukan adanya
istilh mashadiru al-ahkam. Ini artinya kedua terma diatas secara umum, memiliki
makna konteks yang sama (dekat) . dengan demikian bisa dikatakan bahwa
penggunaan dalil dan pemaknaan dalil sama artinya dengan penggunaan sumber
hukum dan pemaknaan atas sumber hukum . disinilah para ulama banyak menemukan
perbedaan-perbedaan, mulai dari pembatasan sumber yang sah untuk digunakan
dalil dan yang tidak sah untuk digunakan dalil. Lebih-lebih menyangkut
pemaknaan atas dalil atau sumber hukum tersebut.
Inilah
sebabnya imam syafi’I segera menaruh perhatian yang besar untuk menyusun
metodologi pemikiran hukum (ushul fiqh), hingga munculah karya monumentalnya
yang berjudul al-risalah. Sejak itu pula murid-murid dan pengikut mazhabnya
dikemudian hari tetap merujuk kepada kita al-risalah tersebut.
2.4 Dasar-dasar pemikiran imam syafi’I tentang penggunaan
dalil
Pembicaraan
menyangkut dalil-dalil syara , dalam beberapa kitab ushuk fiqh selalu berkisar
diseputar dalil-dalil syara yang disepakati dan dalil-dalil syara yang
dipeselisihkan. Beberapa istilah popular dari dalil syara atau sumber hukum itu
antara lain adalah adillah al-hakam al-mutaqaf ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang
disepakati), mashadiru al-ahkam al-mutaqaf ‘alaiha (sumber-sumber hukum yang
disepakati), ‘adillah al-ahkam al-mukhtalaf ‘alaiiha (dalil-dalil hukum yang
diperselisihkan ),mashadiru al-aahkam al-mukhalaf alaiha (sumber-sumber hukum
yang diperselisihkan ).
Sedangkan dalil/sumber hkum yang disepakati oleh
mayoritas (jummhur) ulama ahl-al-sunnah ada empat , yaitu al-quran , Sunnah ,
ijma dan qiyas. Sementara selebihnya seperti istihsan,istihab,istihlah, dan
sebagainya , merupakan dalil/sumber yang diperselisihkan oleh para ulama
(roibin :2012).
Dalam
buku ushul fiqh tahun 1993 yang berjudul “dasar-dasar pembinaan hukum fiqih
islam” karangan prof. DR.Mukhtar yahya dan prof. DR.facturahman, sijelaskan
bahwa kalangan syafi’I mengklasifikasi dalil menjadi dua, yaitu dalil syara
yang telah disepakati serta wajib dimalkan dan dalil syara yang masih
diperselisihkan. Dalil-dalil yang telah disepakati oleh mayoritas ahli ushul menurut
imam syafi’I dan memiliki kekuatan hukum adalah al-quran,Sunnah,ijma, qiyas dan
istishab. Sedangkan yang lainnya merupakan dalil yang dikelompokan pada dalil
yang diperselisihkan dan tidak wajib diamalkan menurut al-syafi’I , yaitu
istihsan,maslahah mursalah, uruf ,madzhab shahabi , dan syaru man qablaha.