Makalah Humanisme dalam Beragama dalam Konteks Keragaman Masyarakat Indonesia
Table of Contents
“HUMANISME DALAM BERAGAMA
KONTEKS KERAGAMAN MASYARAKAT INDONESIA”
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada
abad 21 sekarang humanisme digambarkan sebagai pengganti filosofis yang moderen
bagi agama. Disisi lain humanisme kritis terhadap agama-agama tradisional dan
ideologi agama, yang dijadikan sebagai pengganti agama. Dapat dikatakan bahwa
tujuan hidup humanistik adalah pendekatan dan bagaimana menghargai dan
mendalami kehidupan. Dikaitan dengan agama, tujuan hidup humanistik adalah
menjalani kehidupan agar bisa mencapai suatu kesejahteraan, kebahagiaan, dan
mengembangkan kemampuan hidup manusia harus berdasarkan agama, sehingga dalam
keinginan kita untuk mencapai suatu keberhasilan berdasarkan atau berpegang
pada agama, pasti tujuan hidup kita akan terarah karena agama adalah sarana untuk lebih dekat
dengan Tuhan, dan agama juga memberi batasan-batasan kepada manusia dalam
melakukan kewajiban-kewajiban dari setiap individu.
Pada
zaman sekarang, para humanis menentang orang-orang yang beriman untuk secara
mendalam merenungkan mengapa dan bagaimana mereka beriman.Manusia dilihat
sebagai mahluk yang transenden dengan kebebasan, kesadaran, dan akal budi yang
ia miliki. Ia bukan lagi citra Tuhan, melainkan mahluk hidup yang mampu membuat
alam tunduk pada keinginan dan kepentingannya. Ia tidak lagi tunduk pada
tafsir-tafsir religius tentang kebenaran dan kehidupan, melainkan berani
mengangkat kekuatan-kekuatan yang ada di dalam dirinya sendiri untuk membuat
dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk dirinya. Agama diminta untuk
memberikan tempat untuk akal, kebebasan, dan kesadaran manusia, sehingga bisa
tetap menjadi pedoman hidup manusia yang justru mengangkat kemampuan-kemampuan
terpendam di dalam dirinya. Oleh karena itu, kami merasa tertarik untuk
membahas mengenai Humanisme Agama dalam Konteks Keragaman di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Humanisme
Humanisme, menurut Ali Syariati
(1992 : 39), berkaitan dengan eksistensi manusia. Humanisme merupakan bagian
dari aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok dari segala sesuatu
adalah kesempurnaan manusia. Aliran ini memandang bahwa manusia adalah makhluk
mulia yang semua kebutuhan pokok diperuntukkan untuk memperbaiki spesiesnya.
Sedangkan menurut Kunto Wijoyo
humanisme
2.2 Sejarah Humanisme
Pembagian sejarah humanisme dibagi menjadi tiga
periode :
1. Zaman
Antik
Orang romawi 2000 tahun yang lalu
menggunakan kata humanis untuk menunjukan cita-cita yang mengusahakan
pengembangan tertinggi etis kultural kekuatan-kekuatan manusia dalam bentuk
secara estetik sempurna, bersama dengan sikap baik hati dan kemanusiaan. Tokoh
Cicero (106-43 SM) cita-cita humanisme berkembang dalam stoa dengan tokoh
Seneca dan Marcus Aurelius.
2.
Pra-Renaisance
Tahap inilah barangkali kunci
kelahiran abad modern, abad ke- 14 Italia dunia kristiani mulai menemukan
cita-kemanusiaan Yunani dan Romawi. Seni klasik mulai berkembang terutama
patung-patung tubuh manusia memberi sumbangan besar seni di zaman itu. Manusia
mulai ditempatkan sebagai pusat perhatian. Pendidikan dipandang sebagai
pengembangan manusia, manusia dianggap tolak ukur kewajaran kehidupan; pada waktu
itu tek kuno dalam filsafat mulai diteliti sastra dan diterjemah.Peran Paus di
Roma ikut dalam gerakan diusahakan mendamaikan agama kristiani dengan
kebudayaan kuno (Socrates dan Plato). Ciri periode ini adalah wawasan yang
luas, optimis penolakan terhadap kepicikan dan keadilan usaha. Dua tahap
humanisme itu merupakan tahap pertama kearah sekularisasi dunia eropa tengah
dan barat tokoh puncak humanisme adalah Trasmus dan Rotterdam (1466-1536).
3. Tahap
Humanisme Modern
Humanisme untuk sebagian bangsa
eropa berpengaruh terutama dalam kehidupan rohani. Mendorong gereja
mentranformasikan diri dari dalam dan mencoba kedalam hidup batin disisi
lain.Di abad 15 dan renaisance diabad 16 kita menyaksikan gerakan pembaharuan
religius eropa. Di eropa utara devotia moderne mengusahakan pendalaman mistis,
kita menyaksikan kelompok yang melakukan tapa. Kehidupan katolik di abad 16
ditandai oleh kelompok mistik dan hidup rohani, Santa Theresia dan Avila, Santo
Johanes dan Cruz dan Santo Ignasius dari Yolala. Abad pertengahan berahir
sesudah abad pencerahan abad 15 dan 16. Pada saat orang mencari alternatif
untuk kebudayaan tradisional (yang sama sekali diresapi suasana kristiani
perhatian diarahkan kepada satu-satunya kebudayaan yag lain yang meraka kenal,
yaitu kebudayaan Yunani dan Romawi. Kebudayaan itu sangat mereka dewa-dewakan
dan diambil sebagai contoh untuk segala bidang kultural.Humanisme barat
berkembang dalam dua bentuk sebagai humanisme moderat dan sebagai humanisme
anti agama.
a. Humanisme
moderat menjunjung tinggi keutamaan manusia yang luhur seperti kebaikan hati,
kebebasan hati, wawasan yang luas, keterkaitan dengan seni, universalisme
(Nilai budi dijunjug tinggi). Merasa dekat dengan alam, penolakan fatalisme,
toleransi positif, Tokoh peyair Jerman Goeth, Schiller serta Wilhelm Von
Humbold.
b. Humanisme anti agama dipahami sebagai takhayul
atau keterikatan manusia pada irasionalitas sehingga manusia dapat menemukan
dirinya jika ia melepaskan diri dari agama. Tokoh humanisme atheis Ludwig
Feurbach (1804-1872) yang memakai agama sebagai keterangan manusia. Karx Marx
memandang agama sebagai candu masyarakat. Disebut juga Friederic Nietzsche,
Sigmund Freud (agama sebagai ilusi) dan Jean Paul Sartre.Rasio dipandang
sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk mengenali realitas, untuk
menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas, estetika, menentukan
arah hidup, perkembangan sejarah, memecahkan masalah ekonomi.
Antroposentrisme humanisme muncul
dengan datangnya rasionalisme yang tidak lagi percaya bahwa hukum alam besifat
mutlak. Rasionalisme inilah yang melahirkan renaisance suatu gerakan membangun
kembali manusia dari kungkungan mitologi dan dogma. Cita-cita renaisance adalah
mengembalikan kedaulatan manusia yang selama berabad-abad dirampas oleh dewa
dan mitologi untuk mengusai nasibnya sehingga kehidupan berpusat pada manusia
bukan pada Tuhan.
Berbeda sekali dengan denga pikiran
abad pertengahan, di mana Allah ditunjukkan sebagai arche atau asal alam
semesta. Allah itu pencipta dan alam semesta itu ciptaan. Yang ilahi sekarang
tidak llagi suatu prinsip abstrak. Yang ilahi sekarang sangat kongkret: Allah
tiu Tuhan dari Kitab Suci, Allah yang dihadapi oleh manusia, sebagai suatu
Engkau, Allah itu tidak lagi suatu unsur trasenden yang menentukan nasib
manusia. Allah itu sekarang justru penyelenggaraan yang menyelamatkan manusia.
2.3 Isi Teori Humanisme
Konsep pemikiran filsafat humanisme
yang dikemukankan oleh filsuf humanis meliputi beberapa hal berkut ini yaitu
sebagai berikut [6]:
1. Pandangan tentang hakekat manusia
Hakekat manusia yaitu manusia
memiliki hakekat kebaikan dalam dirinya, dalam hal ini apabila manusia berada
dalam lingkungan yang kondusif bagi perkembangan potensialitas dan diberi
semacam kebebasan untuk berkembang maka mereka akan mampu untuk
mengaktualisasikan atau merealisasikan sikap dan perilaku yang bermanfaat bagi
dirinya sendiri dan lingkungan masyarakat.
2. Pandangan tentang kebebasan dan otonomi manusia.
Penganut ini memberi pandangan
bahwa setiap manusia memiliki kebebasan dan otonomi memberikan konsekuensi
langsung pada pandangan terhadap individualitas manusia dan potensialitas
manusia. Individualitas manusia yang unik dalam diri setiap pribadi harus di
hormati. Berdasarkan pandangan ini, salah satu upaya pengembangan sumber daya
manusia perlu dilakukan dalam proses pendidikan untuk mencapai hasil yang
maksimal adalam pemberian kesempatan kepada perkembangannya askpek-aspek yang
ada di dalam diri individu. Sehingga akhir dari perkembangan pribadi manusia
adalah mengaktualisasikan dirinya, mampu mengembangkan potensinya secara utuh,
bermakna dan berfungsi bagi kehidupan dirinya dan lingkungannya.
3. Pandangan tentang diri dan konsep diri
Diri merupakan pusat kepribadian
yang perkembanganya melalui proses aktualisasi potensi-potensi yang mereka
miliki, yang di dalam diri seseorang dengan orang lain. Di mana di dalam diri
seseorang itu terdapat perasaan, sikap, kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, kecerdasan spiritual dan karakteristik fisik. (menurut Ellias dan Meriam).
Pandangan Humanisme di bagi menjadi
3 bagian adalah:
1. Humanisme Lama
Tokoh yang terkenal menganut paham
ini bernama Desiderus Eramus (1469-1536), yang sering disebut dengan bapak
Humanisme. Erasmus adalah seseorang yang sebetulnya terbuka dan menerima
kebajikan manusia seperti yang diceritakan dalam injil, dan menjadikan Yesus
sebagai tokoh manusia yang ideal hingga kemudian menolak hal-hal ilahi dalam
injil, pandangan takhayul adat gereja, yang umumnya bersifat terlalu dogmatis
dan otoriter pada masa itu.
2. Humanisme sekuler
Bangkitnya humanisme di Amerika
sesudah Perang Dunia I, Humanisme sekuler meruoakan gerakan budaya dan
intelektual, yang pada prinsipnya ingin menjelaskan keberadaan manusia tanpa
ada sangkut pautnya dengan Tuhan.Menurut Yohanes Verkuyl, ahli teologi terkenal
itu, disebut sebagai “suatu sifat yang hanya berorientasi pada dunia ini
(saeculum, dan menolak serta mengabaikan dunia kekekalan (aeternum)”. Pada
prinsipnya Humanisme Sekuler merupakan paham budaya dan pemikiran mengenai hidup
yang didasarkan sikap “menolak Tuhan dan hal-hal yang bersifat adikodrati”, dan
menggantikannya dengan “diri sendiri (self), ilmu pengetahuan (science), dan
kemajuan (progress)”.
Humanis sekuler yang tidak percaya
pada eksistensi Allah, bersikeras bahwa tidak ada standat-standar atau
norma-norma ultimat atau trasenden bagi system etis atau perilaku manusia.
Karena itu orang-orang harus mengembangkan prinsip-prisnsip etis mereka sendiri
dengan merujuk pada pengalamana mereka dan persepsi-persepsi mereka tentang
kebutuhan manusia dan kebaikan masyarakat.[8]
3. Humanisme Kosmis
Humanism sekuler yang makin
menonjol, berkembang juga gerakan baru yang disebut sebagai “ Gerakan Zaman
Baru” dalam banyak bentuknya, yang seakan-akan mengiringi pandangan Rasionalisme
dan Humanisme Sekuler yang banyak di anut oleh manusia pada masa kini. Oleh
karena itu, gerakan itu juga disebut orang sebagai Humanisme Kosmis atau
Humanisme Baru. Pada prinsipnya, Humanisme Kosmis itu berlawanan dengan
praktik-praktik yang rasional dan materialistis sebab di sana di tekankan
pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang bersifat mistis dan kosmis
Nilai-nilai kemanusiaan dalam
humanisme islam memiliki kesamaan dengan humanisme barat karena sumbernya
memang sama. Akan tetapi menurut mousa humanisme barat itu berutang budi
terhadap prinsip kebebasan (liberty), persaudaraan (fraternity) , dan persamaan
(equality) dalam islam .
1.
Kebebasan
Kebebasan
sebagai nilai humanisme islam ditunjukan untuk menjamin hak manusia. nilai
kemanusiaan ini bertolak dari asumsi bahwa manusia adalah mahuk mandiri yang
mulia, berpikir, sadar akan dirinya sendiri , berkehendak bebas, bercita-cita
dan merindukan ideal , bermoral.
2.
Persamaan
Islam
menegaskan bahwa kesamaan individu adalah dasar martaabat manusia .persamaan
manusia dalam ajaran islam tidak mengenal suku, ras , dan warna kulit (qs.
Al-hujurat / 49:13) .humanisme islam membela manusia dalam seluruh sistem dan
sejarahnya didasarkan pada prinsip keadilan,kehormatan,hidayah,tanggung jawab,
nilai moral dan hakikat manusia guna membentuk ciri khusus budayanya.
3.
Persaudaraan
Nilai
persaudaraan dalam humanisme islam didasarkan pada kebaikan (al-birr) dan kasih
sayang (al-rahman).rasul dan para pengikutnya itu sangat sangat sayang kepada
sesamanya, meskipun sangat keras terhadap orang kafir yang memusuhi islam (qs.
Al-fath /48 : 29) . semua muslim adalah sodara, allah berfirman bahwa ‘’ sesungguhnya orang-orang muslim adalah
bersaudara , karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah
kepada allah supaya kamu mendapat rahmat.’’ (Qs, alhujurat / 49:10)
Selain itu terdapat empat aliran
yang mengklaim sebagai bagian dari Humanisme, yaitu:
1. Liberalisme Barat
Adalah ideologi yang berpaham
kebebasan yaitu adanya pengakuan hak-hak individual yang harus dilindungi dari
campur tangan dan badan-badan lain. Manusia dipandang sebagai makhluk yang
bebas dan rasional. Pemerintah harus didasarkan pada persetujuan rakyat. Contoh
negara yang memegang paham ini adalah Amerika Serikat (U.S.A)
2. Marxisme
Salah satu jenis sosialisme yang
mengajarkan tentang teori pertentangan kelas. Dalam konsep marxisme, negara
hendaknya dipimpin dan lebih mengutamakan kelas pekerja (buruh). Marxisme
berawal dari konsep-konsep poliyik ekonomi dan sosial Karl Marx dan selanjutnya
mao tze tung (dibaca : mao zedong) menjadi paham komunisme, yang menghalalkan
segala cara.
3. Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan suatu
aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia
dipandang sebagai suatu makhluk yang harus bereksistensi, mangkaji cara manusia
berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme
memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu
ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang
sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.
4. Agama
Kaum radikalis yang merupakan
pemikir-pemikir Humanisme Modern dan penganjur-penganjurannya di Eropa abad
ke-18 dan awal abad ke-19 dalam keterangan yang mereka publikasikan pada tahun
1800 menyatakan, “Singkirkan Tuhan dari kaidah moral, dan gantikan dengan kata
hati sebab manusia adalah makhluk yang mempunyai kata hati yang bersifat moral
bawaan.” Kata hati yang bersifat moral (conscience morale) menurut
persepsi dan pandangan mereka, tumbuh dari jati diri manusia, dan itulah yang
dibutuhkan oleh watak dasar manusia.
Akhlak kaum Humanis selalu
mengedepankan kepentingan tertinggi manusia. Oleh sebab itu, jika masih ada
ajaran agama, tuhan dengan segala tuntutannya pada manusia dan negara yang
mengatur kebebasan manusia, semuanya harus dilenyapkan karena telah mendahului
kepentingan manusia. Di dunia ini, tidak ada lagi yang paling penting, kecuali
manusia.
Pandangan Humanis telah menjangkau
filsafat tertinggi yang sekaligus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
eksistensialisme, yang di dalamnya berprinsip pada nilai-nilai luhur
kemanusiaan. Manusialah tujuan utama perbuatan, dan seluruh perbuatan ditujukan
kepada manusianya sendiri karena tuhan tidak membutuhkan akhlak manusia, tuhan
pun harus segera disingkirkan dari keterlibatannya dengan urusan manusia. Lebih
baik tuhan mengurus dirinya sendiri daripada ikut campur dengan urusan manusia
yang terus berkembang dan bergerak secara progresif.
Humanisme modern yang dipandang
oleh liberalisme barat-borjunis sendiri sebagai sistem yang menjadi landasan
bangunannya, memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki keutamaan -
keutamaan moral yang abadi dan nilai-nilai yang lebih luhur daripada materi
suatu keutamaan dan nilai-nilai yang menjadi inti penting satu-satunya bagi
manusia. Liberalisme Barat - Borjuis bersandar pada Humanisme yang menjadi
lawan Naturalisme dan Metafisika.
Humanisme telah mengambil semua
moral kemanusiaan dari agama, tetapi semata-mata persoalan justifikasi
keagamaan, Humanisme menolak atau menyingkirkan agama. Humanisme menyatakan
bahwa pendidikan spiritual dan keutamaan-keutamaan moral, dapat dicapai tanpa
harus menganut agama dan meyakini adanya tuhan.
Humanisme memiliki fungsi,
diantaranya;
1.
Membuat manusia sadar akan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk rohani.
2.
Dari point 1 diatas etika rohani mendasari supaya manusia bertanggung jawab
dalam kehidupan dunia ini.
Dasar Humanisme Islam :
1.
Saling mencintai, kasih sayang dan menjaga kebersamaan. “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah saudara karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.
(Q.S. Al-Hujurat : 10). “tidak ada
kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali bisikan dari orang yang
mnyuruh manusia bersedekah, atau berbuat yang ma’ruf atau mengadakan perdamaian
diantara manusia”. (Q.S. An-Nisa : 114).
2.
Berpegang teguh pada agama Allah, tidak berselisih, tidak bercerai berai dan
selalu menghindari permusuhan. “Dan
berpegang teguhlah kepada tali (agama) Allah dan jangan bercerai berai ….”.
(Q.S. Al-Imran : 103). “Janganlah kamu
saling bermusuhan yang menyebabkan kamu menjadi lemah dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah….”. (Q.S. Al-Anfal : 46).
3.
Menjalin hubungan dengan umat lain yang tidak memusuhi umat islam dengan jalan
saling kenal mengenal, saling berbuat baik dan saling bersikap adil. “Wahai manusia sesungguhnya Kami
menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan
kamu berbagai bangsa dan suku agar kamu saling kenal mengenal …..”. (Q.S.
Al-Hujurat : 13). “Allah tiada melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S.
Al-Mumtahanah : 8).
2.4 Humanisme Dalam Agama
Humanisme adalah pandangan yang
menyatakan bahwa manusia dapat memahami dunia serta keseluruhan realita dengan
menggunakan pengalaman dan nilai-nilai kemanusiaan bersama. Kita bisa hidup
baik tanpa agama sekalipun. Para Humanis berusaha menciptakan yang terbaik bagi
kehidupan dengan menciptakan makna dan tujuan bagi diri sendiri.
Tokoh besar dari Humanisme adalah
Erasmus dari Rotterdam, yang pernah bersahabat dengan Martin Luther. Humanisme
berpusatkan manusia dan tidak menerima hakikat Tuhan adikodrati di atas
manusia, gerakan ini pada prinsipnya merupakan kecenderungan untuk
"menggali potensi manusia dan alam secara mandiri " sejalan dengan
nafas "kembali ke sumber" yang berarti pula sebagai "kelahiran
kembali kebudayaan dan kesenian kuno" beberapa bentuk humanisme yang
menekankan aspek antara lain Humanisme Rasional, Humanisme Evolusi, atau
Humanisme Naturalis. Kemudian berkembang Humanisme Sekuler dan bercampur baur
dan bergeser menjadi Humanisme Baru ( New Humanism), yang timbul sebagai bagian
dari Gerakan Zaman Baru dalam arti kata yang luas.
Jargon humanisme lazim digunakan
dalam pengertian tatanan nilai yang mengaksentuasikan kompetensi kepribadian
setiap individu manusia. Namun jargon ini tidak mengandung keimanan kepada
Tuhan. Kendati dalam humanisme terlihat bingkai transparan yang berlandaskan
paham ateisme, namun para humanis juga menggunakan berbagai format religius
untuk mempromosikan norma-norma kemanusiaan. Contohnya, pada abad ke 19 Auguste
Comte, seorang positivis Perancis, sengaja mendirikan agama kemanusiaan yang
berlandaskan ateisme hanya dengan tujuan membenahi situasi sosial. Kecuali itu,
serangkaian doktrin humanistik yang berasaskan ateisme juga terlihat mendapat
minat dari kalangan elit agama.
Kalangan humanisme meyakini bahwa manusia memiliki
sifat dasar yang telah dianugerahkan Tuhan untuk mengembangkan segala
potensinya. Dalam diri manusia terdapat dua naluri, naluri alamiah dan naluri
ketuhanan. Keduanya saling mengisi dan tidak bertentangan, meskipun mengandung
kontradiksi, dan kadangkala manusia bertindak menentang dan berlawan dengan
sunnatullah yang mengandung keseimbangan di dalamnya.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya,
humanisme berasal dari Barat. Kebebasan merupakan tema pokok humanisme.
Humanisme modern yang mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran
yang dipegang oleh persekutuan ajaib negara dan agama itu mekar seiring dengan
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Kaum humanis ditandai oleh
pendekatan rasional mereka terhadap manusia yang tidak terburu-buru melakukan
‘hubungan singkat’ dengan otoritas wahyu illahi, melainkan lebih dahulu lewat
penelitian yang cermat atas ciri keduniawian dan alamiah manusia. Kebudayaan
tampil ke depan menggeser agama.
Kendati memiliki pandangan
sedemikian rupa mengenai asketisisme dan ketuhanan, humanisme tidak memiliki
tokoh yang anti agama atau anti Kristen. Kecenderungan untuk membela nilai dan
kebebasan manusia telah mendorong kaum humanis untuk berdiskusi mengenai Tuhan,
kekuatan-Nya, serta masalah-masalah kontemporer mengenai ruh, keabadian ruh,
dan kebebasan ruh yang biasanya tetap dikemukakan dengan tipe-tipe tradisional
abad-abad pertengahan dan terlimitasi oleh paradigma masa itu. Betapa pun
demikian, dalam humanisme pembahasan-pembahasan ini menemukan makna baru, sebab
menurut mereka pemahaman dan keyakinan adalah demi daya inovatif manusia di
dunia, dan daya ini juga mereka pertahankan di dalam areal keagamaan.
Walaupun tidak memberikan penekanan
terhadap keimanan kepada Tuhan, kaum humanis tetap memandang harus konsisten
kepada doktrin-doktrin keagamaan, kendati agama itu ternyata berlandaskan
ateisme dan dicetuskan oleh seorang manusia semisal Auguste Comte. Sebab mereka
meyakini tatanan sosial akan porak poranda tanpa adanya komitmen kepada
serangkaian prinsip agama, baik yang berdasarkan monoteisme maupun ateisme.
Karena itu, di sini kaum humanis bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok:
penyembah Tuhan dan ateis.
Namun, perlu disebutkan bahwa dalam
pandangan kaum humanis penyembah Tuhan-pun, yang menjadi orientasi ialah nilai
dan kebebasan manusia, sedangkan pengenalan Tuhan beserta kekuatan-Nya hanya
dipandang sebagai instrumen, dan bahwa komitmen kepada ajaran dan
instruksi-instruksi agama hanya merupakan instrumen dengan peranannya yang
superfisial.
Walaupun Humanisme kerap
disejajarkan dengan ateisme, sekularisme atau bahkan filsafat Barat itu
sendiri. Anggapan seperti itu tidak seluruhnya tepat, karena humanisme memiliki
cakupan yang lebih luas dan dalam daripada sekedar humanisme ateistis.
Misalnya, humanisme Kristiani, humanisme Islam, humanisme kultural, humanisme
eksistensial-teistis dan sebagainya yang memaknai pentingnya kemanusiaan dan
kehidupannya tanpa mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan.
Kiranya justru kalangan-kalangan
agamalah yang paling serung memberi pengertian sempit itu karena mereka
berangkat dari suatu kecurigaan terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis
sebagai ancaman bagi iman akan wahyu illahi. Penggunaan akal dalam beragama
dianggap dapat menerjang batas-batas doktriner dan bahkan dapat menggiring pada
kesangsian terhadap otoritas sakral dan tradisi religius yang dijaga selama
berabad-abad. Humanisme yang mereproduksi kecurigaan terhadap agama itu
berbalas kecurigaan terhadapnya yang pada gilirannya menyempitkan pengertiannya
pada ateisme dan sekularisme. Sudah barang tentu sikap saling curiga itu tidak
menolong dan bahkan merugikan kemanusiaan itu sendiri.
Semua humanisme dapat dipandang
sebagai suatu upaya intelektual yang gigih untuk memaknai kemanusiaan dan
keterlibatan manusia di dalam dunianya. Upaya ini dilakukan dengan menggali
tradisi kultural, seperti yang terjadi dalam humanisme Renaisans, untuk
mengimbangi obsesi pada aspek-aspek adikodrati manusia sebagaimana banyak
ditekankan oleh agama. Untuk lepas dari dogmatisme agama, tidak jarang
humanisme memilih strategi yang lebih tegas, yaitu mendekati gejala-gejala
manusia dengan ilmu-ilmu empiris yang berujung pada penjelasan-penjelasan
naturalistis tentang manusia, sebagaimana banyak dijumpai pada para fisiokrat,
the deists, dan kaum materialis di abad ke-18.
Dalam upayanya untuk merebut
manusia dari tafsiran-tafsiran teosentris agama, humanisme bahkan juga
mengambil strategi yang ekstrem dengan menolak keyakinan religius dan
peranannya dalam kesadaran manusia, sebagaimana dilakukan oleh para humanis
ateistis yang baru saja kita bahas. Pertanyaan kita di atas harus kita jawab
sekarang: Apakah kontribusi humanisme ateistis bagi pemahaman tentang manusia
dan kemanusiaannya?
Sejauh kita mengambil segi
positifnya, radikalisasi ‘moral rasional’ adalah sumbangan pertama kaum humanis
ateistis. Moral rasional adalah moral yang tidak diturunkan dari wahyu dan
tradisi religius, melainkan dari akal belaka. Moral yang imanen pada
kemanusiaan kita ini menjadi proyek lama sejak Kant dan the deists di abad
ke-18. Para humanis Pencerahan ini masih menerima eksistensi Tuhan, meskipun
perananNya sangat minimal dalam sejarah, jika tidak ingin mengatakan tidak ada
sama sekali.
Bisa dikatakan bahwa humanisme
ateistis membawa moral rasional itu sampai ke tepian akhir imanensi manusia
untuk menemukan prinsip-prinsip kebaikan yang murni manusiawi tanpa
transendensi. Moral rasional seperti ini dapat memberi platform bersama suatu
masyarakat yang ditandai oleh persaingan berbagai doktrin religius. Moral
rasional itu tidak dikhususkan pada iman religius tertentu, maka membantu
toleransi di dalam masyarakat modern yang semakin kompleks.
Sumbangan kedua humanisme ateistis
adalah kritik agama itu sendiri sebagai suatu pendekatan rasional untuk
memurnikan iman religius. Ateisme adalah satu hal, tetapi kritik agama adalah
hal lain. Orang yang percaya pada Tuhan dapat memanfaatkan kritik agama tanpa
harus mengambil sikap ateistis. Kritik agama membantunya untuk memeriksanya
untuk mengambil jarak kritis terhadap penghayatannya. Sebagai pandangan dunia
total, agama mengklaim kebenaran absolutnya sehingga tak seorangpun berani
mempersoalkannya. Akalpun dikebiri demi iman yang buta yang pada gilirannya
menginduk pada otoritas yang disakralkan. Keadaan itu tidak bisa disebut
manusiawi, karena bakat-bakat rasional manusia ditindas. Bagaikan bubuk mesiu
yang meletus dan mengganggu telinga, kritik agama menggugah orang beragama
untuk – meminjam istilah Kant – “terjaga dari tidur dogmatis”nya.
Betapapun sucinya, agama melibatkan
banyak hal yang bersifat manusiawi dan duniawi, seperti: imajinasi sosial
manusia, kepentingan kelasnya, sistem pengetahuannya, tradisi kulturalnya.
Dengan hanya percaya saja, yaitu tanpa juga berpikir, gambaran tentang Tuhan
lama kelamaan dipercaya sebagai Tuhan itu sendiri, padahal gambaran tentangNya
dibangun oleh sejarah, kekuasaan dan kebudayaan manusia. Feuerbach, Marx,
Comte, Nietzsche dan Sartre benar bahwa sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran
telah mengasingkan manusia dan memasung kebebasannya. Mereka menyebut itu
“Tuhan”, tetapi kita menyebutnya dengan lebih tepat, yaitu: gambaran tentang
Tuhan.
Jika yang dipersoalkan adalah
gambaran Tuhan, kritik agama mereka akan sangat menolong umat beragama untuk
membersihkan imannya dari delusi-delusi. Dalam arti ini humanisme ateistis
justru dapat menjadi jalan untuk mengakui transendensi dan kemutlakan Tuhan
yang berada di luar gambaran-gambaran kita. Bukan Tuhan, melainkan gambaran
Tuhan yang kelirulah yang sesungguhnya telah mereka bunuh. Jika berhala-berhala
pikiran disembah sebagai theos, untuk menjadi seorang teis sejati, diperlukan
sikap ateis, yakni menolak meyakini theospalsu itu.
Berkembangnya ilmu-ilmu empiris
yang meneliti agama kiranya merupakan sumbangan ketiga yang bersifat pragmatis
dari humanisme ateistis. Jauh sebelum munculnya para ateis itu, apa yang
disebut ilmu agama tidak kurang daripada suatu teologi yang menjelaskan, membenarkan
dan membela iman sendiri.
Dewasa ini dunia ilmu dan
pendidikan tinggi telah memiliki dan mengembangkan berbagai ilmu empiris dan
percabangan mereka, seperti psikologi agama, sosiologi agama, antropologi
agama, sejarah agama-agama dst. yang memperlakukan gejala-gejala agama, seperti
mistik, trance, bahasa roh, penyembuhan lewat iman, kemartiran dst. sebagai
gejala-gejala manusiawi yang dijelaskan secara rasional dan empiris. Humanisme
ateistis banyak mendorong peralihan sudut pandang dari ‘perspektif penghayat’
ke ‘perspektif pengamat’ yang banyak membantu mengembangkan etos riset ilmiah
tentang agama yang hari ini dimiliki dunia ilmu.
Bersama dengan moral rasional dan
kritik agama, ilmu-ilmu empiris tentang agama banyak membantu umat beragama
sendiri dalam menghayati imannya secara dewasa tanpa mengesampingkan peranan
akal. Ini terjadi dalam banyak studi baik di kalangan Katholik maupun Protestan
di Barat untuk merekonstruksi suatu teologi yang sesuai dengan kompleksitas
dunia modern kita dan karenanya juga menolong penghayatan iman yang lebih
transformatif dan toleran.
2.5Humanisme
di Indonesia
Humanisme selalu disangkut pautkan
dengan yag namanya hak hak manusia serta keperimanusiaan. Humanisme sendiri di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti aliran yang bertujuan menghidupkan
rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Dalam
kehidupan sehari-hari kita diatur oleh undang undang yang bernama Pancasila.
Pancasila mengatur bagaimana
humanisme bisa berlangsung di kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pancasila
tidak hanya mengatur badan-badan milik negara saja, bahkan setiap masyarakat
yang berada di Indonesia harus mematuhi aturan tersebut. Di dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia, kita tidak pernah lepas dari yang namanya perbedaan
di masyarakat. Indonesia adalah negara yang majemuk, lebih dari 1000 suku, dan
400 bahasa yang berbeda setiap sukunya berada di Indonesia dari Sabang sampai
Merauke, sehingga dengan mudah kita dapat terjadi kesenjangan sosial dan chauvisinisme
terhadap budaya antar bangsa bangsa di Indonesia.
Pada era globalisasi, Indonesia
mulai diguncangkan dengan masalah tentang humanisme. Masalah seperti
kemiskinan, korupsi, penganiayaan, pembunuhan dan lain lain merupakan contoh
dari masalah di nilai nilai kemanusiaan yang ada di Indonesia. Banyak
masyarakat sebenarnya sudah menyadari tentang masalah pada nilai nilai
kemanusiaan tersebut, meskipun mereka tahu tentang masalah ini, mereka tetap
tidak peduli dengan individu lainnya yang membutuhkan.
Manusia lebih cenderung
individualis daripada peduli dengan sesama, masyarakat Indonesia cenderung
mengikuti westernisasi, tidak hanya budaya, tetapi sikap individu terhadap
lainnya juga terpengaruh. Pemerintah lebih bersusah payah lagi untuk
menciptakan kepedulian itu karena masyarkat Indonesia jika masyarakatnya
sendiri tidak peduli.
Dalam sila Pancasila ke-2 berbunyi
“Kemanusiaan yang adil dan beradab’, yang berarti adanya kesadaran sikap dan
perbuatan manusia yang didasarkan oleh kepada potensi budi nurani manusia dalam
hubungannya dengan norma norma dan kebudayaan umumnya. Sebagai masyarakat
Indonesia sudah seharusnya kita menumbuhkan rasa saling peduli terhadap sesame.
Sudah seharusnya kita melakukan itu karena aturan tersebut sudah tercantum
dalam nilai nilai Pancasila, sehingga itu merupakan tanggung jawab kita untuk
memiliki sikap peduli terhadap sesame. “Manusia adalah makhluk sosial”, manusia
tidak dapat hidup tanpa orang lain, karena manusia saling membutuhkan dan tidak
bisa hidup sendiri, begitu pula kita harus mengasihi dan peduli sesame.
Tidak sepantasnya kita merendahkan
seseorang atau kelompok tertentu, tidak seharusnya kita membuat permusuhan,
tidak seharusnya kita tidak peduli dengan sesame yang membutuhkan, karena kita
adalah masyarakat Indonesia yang sudah berdiri 64 tahun sebagai bangsa yang
majemuk, dan jangan sampai Indonesia hancur hanya karena masalah masalah
kemanusiaan yang terjadi masyarakat, seperti kutipan yang berada dicengkraman
Sang Garuda “Bhinneka Tunggal Ika”, meskipun kita berbeda beda, kita tetap
satu.
Demikianlah yang saya sampaikan mengenai humanisme semoga bermanfaat.