Makalah Nasikh dan Mansukh Al Quran
Table of Contents
sahabat sejuta warna kali ini admin postingkan materi ulumul wuran mengenai nasikh dan mansukh dalam al quran silahkan simak dibawah ini.
NASKH DAN MANSUKH
2.1 Pengertian Naskh
Secara lughawi, ada empat makna naskh
yang sering diungkapkan ulama, yaitu sebagai berikut:
1. Izalah
(menghilangkan)
2. Tabdil
(penggantian)
3. Tahwil
(memalingkan), seperti tanasukh Al-mawarits, artinya memalingkan pusaka dari
seseorang kepada orang lain.
4. Naql
(memindahkan dari satu tempat ke tempat lain), seperti nasakhtu Al-kitaaba,
yakni mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut lafadz dan
tulisannya. Sebagian ulama menolak makna keempat ini, dengan alasan bahwa si
nasikh tidak dapat mendatangkan lafadz yang di-mansukh itu, tetapi hanya
mendatangkan lafadz lain.
Adapun dari segi terminologi, para ulama
mendefinisikan naskh, dengan redaksi yang sedikit berbeda, tetapi dengan
pengertian yang sama, dengan:
“raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab
Al-syar’i” (menghapus hukum syara dengan kitab syara pula) atau “raf’u Al-hukm
bil Al-daliln Al-syar’i” (menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang
lain). Terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah terputusnya
hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf, dan bukan terhapusnya
substansi hukum itu sendiri.
Semantara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa antara ulama-ulama
mutaqaddimin dan muta’akhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian naskh
secara terminologi. Hal itu terlihat dari kontroversi yang muncul diantara
mereka dalam menetapkan adanya naskh dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddimin
bahkan memperluas arti naskh hingga mencakup:
1. Pembatalan
hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian;
2. Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian;
3. Penjelasan
susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius; dan
4. Penetapan
syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau
menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum yang terdahulu.
Dari definisi yang ada,para ahli usul fiqh menyatakan bahwa naskh bisa
dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut:
1. Pembatalan
harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan
Rasul-Nya yang disebut nasikh (yang menghapus) dengan demikian, habisnya masa
berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan naskh.
2. Yang
dibatalkan oleh syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus)
3. Nasikh
harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian istisna
(pengecualian) tidak disebut naskh.
2.2 Rukun dan Syarat Mansukh
Rukun naskh sebagai berikut:
1. Adat
Naskh, adalah pernyataan yang menunjukan adanya pembatalan hukum yang telah
ada.
2. Nasihk,
yaitu dalil yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu
berasal dari Allah, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang
menghapusnya.
3. Mansukh,
yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh,
‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat naskh adalah:
1. Yang
dibatalkan adalah hukum syara’.
2. Pembatalan
itu datangnya dari tuntutan syara’.
3. Pembatalan
hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti
perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di naskh setelah
selesai melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan
yang mengandung naskh harus datang kemudian.
Dengan demikian, ada dua lapangan yang tidak menerima nasakh, yaitu:
1. Seluruh
khabar/aqidah baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebab, pembatalan khabar
berarti mendustakan khabar itu sendiri, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah
mustahil membuat kebohongan.
2. Hukum-hukum
yang diisyaratkan secara abadi.
2.3 Perbedaan antara Naskh, Takhsish, dan Bada’
Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu
Katsir, Al-Maraghi dan Abu Muslim Al-Ashfahani dalam memandang persoalan naskh.
Ibnu katsir dan Al-Maraghi menetapkan adanya pembatalan hukum dalam Al-Quran.
Namun, dengan tegas, Al-Ashfahani menyatakan bahwa Al-Quran tidak pernah
disentuh “pembatalan”. Meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang:
1.
Adanya pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian;
2.
Adanya penjelasan
susulan terhadap hukum yang terdahulu yang ambigius;
3.
Adanya penetapan syarat
terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu Katsir dan Al-Maraghi memandang
ketiga hal diatas sebagai naskh, sedangkan Al-Ashfahani memandangnya sebagai
takhsis. Tampaknya, Al-Ashfahani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada naskh
dalam Al-Quran. Kalaupun didalam Al-Quran terdapat cakupan hukum yang bersikap
umum, untuk mengklasifikasinya dapat dilakukan proses pengkhususan (takhshish).
Dengan demikian, takhsish, menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan
sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafadz ‘amm”.
Bertolak dari pengertian naskh dan takhsish
tersebut diatas, perbedaan prinsipil antara keduannya bisa dijelaskan sebagai
berikut:
NASKH
|
TAKHSHISH
|
1.
Satuan yang terdapat
dalam naskh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh
2.
Nash adalah menghapuskan
hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3.
Nash hanya terjadi
dengan dalil yang datang kemudian
4.
Nash adanya
menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
5.
Setelah menjadi
naskh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum
yang terdapat dalam mansukh.
|
1.
Satuan yang terdapat
dalam takhshish merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafadz
‘amm.
2.
Takhshish merupakan
hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm.
3.
Takhshish dapat
terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
4.
Takhshish tidak
menghapuskan hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah di-khususkan.
5.
Setelah terjadi
takhshish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm.
|
Adapun bada’, menurut sumber-sumber kamus
yang masyhur, adalah azh-zhuhur ba’da Al-Khafa’(menampakan sesuatu setelah
bersembunyi.).
2.4
Dasar-dasar Penetapan Nasikh Mansukh
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga dasar
untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain
mansukh (dihapus). Ketiga unsur tersebut adalah:
1.
Melalui pentransmisiam
yang jelas (An-Naql Al-Sharih) dari nabi atau para sahabatnya, seperti hadis:
“kuntu naihaitukum ‘an ziyarat Al-qubur ala fa zuruha” (Aku(dulu) melarang
berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah. Juga seperti ungkapan Anas berkaitan
dengan ashab sumur Ma’unah: “Wa nuzilah fihim quran qaranah hata rufi’a” (untuk
mereka telahturun ayat, sampai akhirnya dihapus);
2.
Melalui kesepakatan umat
bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh;
3.
Melalui studi sejarah,
mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan mana yang
duluan turun, sehingga disebut mansukh.
Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak
bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya
kontradiksi antara beberapa dalil bisa dilihat dri lahirnya, atau belakangnya
keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
Hal senada dikemukakan
oleh Ibnu Al-Hisar:
Persoalan naskh hanya dikembalikan
(didasarkan) pada penukilan yang jelas dari Rasulullah SAW., atau dari seorang
sahabat yang mengatakan sebuah ayat ini di-naskh oleh yang ini. Bisa jadi
ditetapkan dengan cara yang ini, manakala terjadi kontradiksi yang pasti,
dengan bantuan pengetahuan sejarah untuk diketahui yang lebih dulu turun dan
yang kemudian. Dalam masalah naskh, tidak diperkenankan memegangi pendapat
kebanyakan mufassir, bahkan tidak diperkenankan memegangi ijtihad para mujtahid
tanpa penukilan yang sahih, dan sanggahan yang jelas, sebab naskh, mengandung
artimenghapuskan dan menetapkan hukum yang sudah ditretapkan pada masa Nabi
SAW. Yang dipegangi dalam masalah ini adalah penukilan dan sejarah, bukan pendapat
dan ijtihad. Para ulama, dalam masalah ini, berada pada dua kutub kontradiksi;
ada yang mengatakan dalam masalah naskh hadist ahad yang adil, para perawinya
tidak diterima, dan ada yang bersikap terlalu toleran, dalam hal ini cukup
memegangi pendapat seorang mufassir atau mujtahid. Yang benar adalah pendapat
yang bertentangan dengankeduanya.
2.5 Perbedaan
Pendapat tentang Adanya Ayat-Ayat Mansukh dalam Al-Quran
Sebagaim mana telah disebutkan
diatas, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang eksistensi naskh dalam Al-Quran.
1. Menerima
keberadaan naskh dalam Al-Quran.
Pendapat ini dikemukakan mayoritas ulama. Untuk memperkuat pendapatnya, mereka
mengemukakan argumentasi naqliah dan aqliah. Di antara argumentasi naqliah yang
mereka kemukakan adalah firman-firman Allah berikut :
·
Artinya :
“Untuk
ayat apa saja yang kami tunda, atau kami sebabkan (Rasul) melupakannya, maka kami akan datangkan yang
lebih baik atau yang semisal dengannya.”(Q.S Al-Baqarah [2]: 106).
·
Artinya :
“Tuhan akan menghapus atau menetapkan apa-apa yang dikehendaki-Nya; dan
di sisi-Nya terdapat “Induk” Al-Kitabin”(Q.S Ar-Ra’ad [13]: 39).
·
Artinya :
“Dan ketika kami
pertukarkan ayat satu dengan ayat lainnya dan Tuhan Maha Mengetahui apa-apa
yang diturunkan-Nya, mereka berkata, ‘Kamu (Muhammad) hanya seorang yang
mengada-ada’; bukanlah demikian, tetapi kebanyakan dari mereka tidak
mengetahui.”
Mayoritas
ulama memandang, dengan berpijak pada keseluruhan ayat diatas, bahwa
“revisi”Al-Quran telah terjadi. Gagasan lain yang mendasari mayoritas ulama
akan teori naskh adalah penerapan
perintah-perintah tertentu kepada kamu muslimin di dalam Al-Quran hanya
bersifat sementara, dan bahwa tatkala keadaan telah berubah, perintah dihapus
dan diganti dengan perintah yang baru lainnya. Namun, karena peintah-perintah
itu Kalam Allah, ia harus dibaca sebagai bagian dari Al-Quran.
Adapun
dalil-dalil yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut :
Dalil
Pertama. Naskh tidak merupakan
hal yang terlarang menurut akal pikiran, dan setiap yang tidak dilarang berarti
boleh. Dalam hal ini, Mu’tazilah menabahkan bahwa hokum Allah itu wajib membawa
maslahat bagi hamba-Nya. Adapun Ahl Sunnah mengatakan bahwa tidak ada yang
wajib bagi Allah sesuatu pun terhadap hamba-Nya. Oleh karena itu, kalaupun
Allah me-naskh-kannya tidak akan
membawa akibat kepada hukumnya. Namun, semua hukum Allah dan perbuatan-Nya
adalah himmah balighah, ilmu yang
luas dan Mahasuci dari sifat jahat dan aniaya
Dalil Kedua. Seandainya
naskh tidak dibolehkan akal dan tidak
terjadi dalam naskh, syari’ tidak
boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya dengan perintah sementara dan
melarangnya dengan larangan sementara. Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh
para penentang naskh dan mereka
berkata bahwa perintah dan larangan itu dapat terjadi seperti diatas.
Dalil Ketiga.
Seandainya naskh itu tidak boleh
menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat, tidak akan ditetapkan
risalah-Muhammad SAW. Kepada seluruh alam, sedangkan semuanya mengakui bahwa
risalah itu semua berlaku untuk seluruh alam dengan dalil yang pasti. Oleh
karena itu, syariat yang terdahulu dengan sendirinya akal kekal, tetapi akan
di-naskh-kan oleh syariat yang
terkahir.Oleh karena itu, naskh boleh dan dapat terjadi.
Dalil Keempat.
Terdapat dalil yang menunjukan naskh
terjadi menurut nash. Oleh karena itu, keadaan “terjadi (Al-wuqu)” membawa
pengertian boleh bertambah (aj-jawaz wa
ziyadah).
1. Menolak
keberdaaan naskh dalam Al-Quran.
Diantara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Abu Muslim Al-Ashfahani.
Khudori Beik menjelaskan bahwa imam Ar-Razi juga sependapat dengan
Al-Ashfahani. Masuk ke dalam kelompok yang berseberangan dengan pendapat
mayoritas diatas adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy, dan ustadz
Al-khudri. Khusus mengenai Abduh, Quraish Shihab tampaknya tidak setuju
sepenuhnya untuk menetapkannya sebagai kelopok penentang naskh. Sebab, bagi Abduh, naskh
diberi pengertian bukan sebagai pembatalan, tetapi sebagai pergantian,
pengalihan, dan pemindahan ayat hukum di satu tempat kepada ayat hukum di
tempat lain.
Abduh
menolak alasan para pendukung naskh yang
mengajukan Al-Quran surat Al-Baqarah [2] : 106 sebagai legitimasi keberadaan naskh dalam Al-Quran, sebab menurutnya,
kata “ayat” yang terdapat didalamnya bukan berarti “ayat-ayat hukum dalam
Al-Quran”. Penutup ayat “anna Allah ‘ala
kulli sy’in qadir”, menurutnya, mengisyaratkan bahwa ayat yang dimaksud
adalah mukjizat. Apa yang menjadi keberatan ‘Abduh untuk mengajukan Al-Quran
surat Al-Baqarah [2] : 106 sebagai legitimasi naskh dalam Al-Quran juga dikemukakan oleh Al-Ashfahani.
Terhadap
argumentasi mayoritas ulama yang didukung oleh surat An-Nahl [16] : 101,
Al-Ashfahani membantahnya dengan mengajukan ayat 42 surat Al-Fushilat [41]:
Artinya
: “Tidak dating kepadanya (Al-Quran) kebatilan, baik dari depan maupun dari
belakangnya , (karena) ia diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.”(Q.S. Fushilat: 42)
Menurut
Al-Ashfahani, bertolak dari ayat diatas, Al-Quran tidak mungkin disentuh
pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama merasa keberatan terhadap pendapat
Al-Ashfahani sebab bagi mereka, ayat diatas tidak bicara tentang “pembatalan”,
tetapi tentang “Kebatilan” yang berarti lawan dari “Kebenaran”. Juga, menurut
mereka, hukum Tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung keharusan bahwa hukum
itu batil, sebab sesuatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat
perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti hukum itu menjadi
tidak benar.
Lebih
jauh Quraishi Shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat Al-Quran pada dasarnya
berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif (berlaku) pada suatu waktu, pada waktu
yang berlainan akan tetap berlaku bagi orang-orang yang memiliki kesesuain
kondisi dengan apa yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan. Ini mengandung
arti bahwa Islam diterapkan secara hierarkis, sebagaimana Al- Quran pun
diturunkan secara bertahap.
2.6
Bentuk-bentuk
dan Macam-macam Naskh dalam Al-Qur’an
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya,
naskh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat macam yaitu:
1.
Naskh sharih, yaitu
ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang
terdahulu.Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal[8]
yang mengharuskan seorang muslim melawan sepuluh kafir:
Artinya:
Hai Nabi, kobarkanlah
semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan
jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum
yang tidak mengerti.”
Ayat ini, menurut
jumhur ulama di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua
orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
2. Naskh dhimmy, yaitu
jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan
keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-keduanya diketahui
waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya,
ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang
terdapat dalam surat Al-Baqarah [2]: 180:
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf”
Ayat ini, menurut pendukung teori naskh di-naskh oleh hadis
la washiyyah li waris(Tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3.
Naskh
kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya,
ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah[2] ayat 234
di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4.
Naskh
juz’iy, yaitu menghapus hokum umum yang berlaku bagi semua individu dengan
hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hokum yang
bersifat muthlaq dengan hokum yang muqayyad. Contohnya, hokum dera 80 kali bagi
orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur[24] ayat
4, dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah,
jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Dilihat dari segi
bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh kepada tiga macam yaitu:
1.
Penghapusan
terhadap hokum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang
terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan.
Misalnya sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadits ‘Aisyah r.a
2.
Penghapusan
terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya, ajakan para
penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat islam untuk saling
bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan ayat qital
(peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat
Al-Kafirun[109]:6.
3.
Penghapusan
terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini
biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat raja mini terilang ayat
Al-Quran. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaannya, sementara hukumnya tetap
berlaku itu adalah:
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus
sebuah naskh, para ulama membagi naskh ke dalam empat macam:
1.
Naskh
Al-Quran dengan Al-Quran:para ulama sepakat akan kebolehannya.
2.
Naskh
Al-Quran dengan As-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah, naskh semacam ini
diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya sunnah mutawatir atau masyhur. Akan
tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya berupa
sunnah ahad. Bila kedua jenis sunnah di atas berstatus qhath’i tsubut,
sebagaimana Al-Quran, hal itu berbeda dengan sunnah ahad yang bersifat zhanny
tsubut. Keputusan-keputusan kalangan Hanafiyah mendapat bantahan keras dari
kalangan mayoritas ulama ushul fiqh. Bagi mereka, apa pun jenis sunnah yang
akan menghapus ketentuan hokum dalam Al-Quran, hal itu tetap tidak
diperkenankan. Untuk itu, Asy-Syafi’i mengajukan analisisnya sebagai berikut:
Sunnah tidak sederajat dengan Al-Quran. Padahal, naskh yang dijanjikan Tuhan
dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 106 adalah yang sepadan derajatnya atau bahkan
lebih tinggi. Dalam surat Yunus [10]: 15 dinyatakan bahwa Muhammad tidak berhak
untuk mengubah Al-Quran atas kemauannya. Surat An-Nahl [16]:44 menyatakan bahwa
misi Muhammad adalah penjelas (mubayin) terhadap Al-Quran, sehingga setelah
mereka memperoleh penjelasan darinya, umat bisa mengamalkan Al-Quran. Bila
Muhammad berhak menghapus ketentuan Al-Quran, nanti yang diamalkan umat bukan
lagi Al-Quran, tetapi As-Sunnah. Ini berarti bertentangan dengan kandungan
surat An-Nahl [16]:44. Menghindari naskh Al-Quran dengan As-Sunnah bisa
menjauhi celaan atas diri Muhammad.
3.
Naskh
As-Sunnah dengan Al-Quran. Menurut mayoritas ahli ushul, naskh semacam ini
benar-benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat shlat ke Bait
Al-Muqaddas menjadi ke Kabah. Akan tetapi, lagi-lagi Asy-Syafi’i menolak
penghapusan semacam ini. Baginya, jika Muhammad menetapkan suatu ketentuan,
kemudian turun ayat yang isinya bertentangan, beliau pasti akan membuat ketentuan
baru yang sesuai dengan Al-Quran. Jika tidak demikian, akan terbukalah pintu
untuk menuduh bahwa setiap sunnah yang menjadi bayan Al-Quran sudah dihapus.
4.
Naskh
As-Sunnah dengan As-Sunnah. Bagi Al-Qathhan, pada dasarnya, ketentuan naskh
dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.
2.7 Hikmah
keberadaan Naskah
Menurut Manna' Al-Qaththan terdapat empat
hikmah keberadaan ketentuan naskah,yaitu:
1. Menjaga
kemaslahatan hamba.
2.
Pengembangan persyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring
dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.
Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian di
hapus.
4.
Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan Nasikhin
lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi
pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam Nasikhin lebih mudah
daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai nasikh mansukh dalam al quran semoga bermanfaat.